Selasa, 23 Oktober 2012

DAN ORANG PUN JADI BERHALA

DAN ORANG PUN JADI BERHALA

/1/
sejak ibrahim mengalungkan kapak pada patung
dan berkata pada kaum fakir, "bertanyalah pada raja patung
siapakah yang telah memporandakan berhala-berhala itu"

mungkin masih kau ingat betapa siti hajar berlari-lari kecil
antara bukit safa-marwa mengejar fatamorgana
dan islmail menggigil oleh rasa agelisah yang ganjil
maka doa dan pinta pun memancarkan air zamzam
di kedalaman dekapan

/2/
sebagai hewan, binatang-binatang itu pun
pasrah, menyerahkan diri ikhlas sebagai kurban
sepertinya ada yang kehilangan ingatan saat di punggung hewan
bertuliskan aksara tanpa makna "hamba Allah"
hingga kasak-kusuk itu meledak bagai kepundan harapan
"siapakah?" demikianlah, melalui kisah yang entah
orang-orang menjadi patung berkalung kapak ibrahim

jauh sebelumnya, isa berfatwa "inilah darah dan dagingku
terimalah sebagai pengganti dan penebus dosa-dosa kalian"
lalu orang-orang pun berkalung salib di atas nasibnya sendiri
berjalan di lorong-lorong gelap, mengetuk pintu-pintu tertutup
dan mulut-mulut pun terkatup

/3/
kini di mesjid dan mushola
gereja dan vihara
orang-orang berburu daging
antri sebagai berhala-berhala baru
"ini daging siapakah?"

2012

Senin, 18 Juni 2012

DOA ADAM SAAT PENCIPTAAN ALAM SEMESTA MAKNA

Dimas Arika Mihardja:

DOA ADAM SAAT PENCIPTAAN ALAM SEMESTA MAKNA

ya, Allah hanya satu
yang kasih-Nya tak pilih kasih
yang sayang-Nya tidak terbilang

damba dan pintaku hanya satu, berilah dam
penampung air kehidupan, mengaliri sawah-sawah gelisah
pada musim kemarau panjang, saat jiwa kami menggelinjang
hendaklah kami jangan tersesat di hutan penuh binatang berbisa
atau makhluk bertanduk, tundukkanlah syahwat kami yang muncrat
jadikan segala isyarat di sepanjang perjalanan meraih kemanusiaan kami

limpahkanlah sedikit air saja, alir kesadaran
untuk selalu mengingat jalan pulang
lorong kehidupan menuju keabadian

Allah, ya Allah
lembah dan ngarai
laut dan sungai-sungai
padang pasir dan pantai-paantai landai
jadikan sajadah yang terbentang dari ayunan
hingga buaian, jadikan reranting dan pohon menjadi pena
dan air segala air menjadi tinta
akan kurisalahkan arah langkah menuju tujuan pasti:
mengetuk pintu waktu pada masa yang telah dijanjikan

bpsm, juni 2012

Senin, 13 Februari 2012

PELAJARAN PUISI

Oleh: Joko Pinurbo

Ia sering bingung: apa yang harus ia lakukan untuk murid-muridnya saat ia memberikan pelajaran puisi. Susah-susah amat. Ia bentangkan saja puisi di papan tulis atau di dinding kelas.

“Puisi itu hutan rimba,” ia memulai pelajaran. “Kalian mau jadi anak rimba?” Meskipun sebagian besar muridnya anak-anak kota, mereka ternyata mau mencoba menjadi anak-anak rimba. “Kota juga rimba,” cetus pak guru yang pandang matanya seluas rimba.

Setelah menunjukkan beberapa celah untuk masuk rimba, ditambah sedikit penjelasan tentang peta rimba, ia meminta murid-muridnya segera menjelajahi rimba. Semula ada yang takut-takut, namun setelah dilecut-lecut akhirnya berani juga. Ada pula yang belum-belum sudah bergidik: “Kalau ada ular, bagaimana?” Pak guru merasa geli: “Jangankan di hutan, di kamar mandi pun kadang ada ular.”

Ribut sekali. Mereka berhamburan ke dalam rimba sambil bersorak-sorak: “Rusa jantan berlari masuk hutan….” Kemudian ada yang menimpal: “Curang! Memangnya hanya rusa jantan yang bisa berlari masuk hutan? Rusa betina juga bisa. Ayo balapan!”

Guru puisi itu tampak tenang-tenang saja, tapi waspada. Ia sudah sangat sering masuk hutan dan tahu rahasia rimba. Ia sibuk berjaga-jaga, siap memberikan pertolongan darurat bila, misalnya, ada muridnya yang linglung atau tersesat.

Tiba-tiba suasana berangsur senyap. Tak terdengar lagi derai tawa dan suara bernyanyi bersahutan. Ia mulai panik. Jangan-jangan mereka benar-benar tersesat. Jangan-jangan ditelan gelap. Jangan-jangan ada yang masuk jurang. Jangan-jangan ada yang digigit ular. Ia ingin sekali mencari dan menemukan mereka, tapi sama sekali tak ada sinyal suara. Malah ia sendiri tiba-tiba takut tersesat. Takut pada yang tak terlihat.

Ia masih tercenung gundah ketika murid-muridnya satu persatu muncul dari dalam rimba. Ada yang pakaiannya kusut dan kotor. Ada yang wajahnya belepotan tanah. Ada yang lecet-lecet, bahkan luka-luka. Ada yang pantat celananya jebol. Ada yang kehilangan tas dan kamera. Ada yang pura-pura kesurupan dan sakit jiwa.

Setelah semuanya berkumpul kembali, dengan nada murung ia berkata: “Maafkan saya ya, tadi cuma menunjukkan jalan masuk rimba, tapi tidak memberi tahu jalan keluar rimba. Aku ingin menjemput kalian sebenarnya, tapi khawatir kalian merasa dikira anak manja.” Seorang murid yang rambutnya jadi mirip rimba menukas: “Jangan terlalu sensi(tif) dong Pak. Kami baik-baik saja. Lihat nih, kami masih utuh.”

Tiba-tiba matanya berbinar-binar kembali. Lalu ia agak kewalahan mendengarkan celoteh murid-muridnya. Tadi saya hampir terperosok ke jurang lho Pak. Saya berpapasan dengan ular. Saya malah sempat mandi di pancuran. Saya ketemu pelangi di sungai. Tadi ada monyet naksir saya lho Pak. Saya terjatuh tanpa sebab. Saya terguling di tebing. Saya anak rimba!

Bel berbunyi. Bubar. Pelajaran puisi (untuk sementara) selesai. “Terima kasih ya Pak.” “Lho, jangan berterima kasih kepada saya. Berterima kasihlah kepada puisi.” Ia baru sadar bahwa tadi ia tidak sempat sarapan sehingga perutnya kembung. Agak terburu-buru ia meninggalkan ruang kelas. Langkahnya kelihatan goyah. Tubuhnya kelihatan ringkih. Tapi ia adalah raja rimba. Ia kepalkan dan acungkan tangannya: “Hidup puisi!”

Gerimis berderai membasuh rambutnya yang keperak-perakan. Gerimis siang. Seperti ribuan diksi dan imaji berhamburan dari pohon hayat yang rimbun dan tinggi. Seperti ribuan morfem dan fonem bertaburan dari pohon waktu yang tak pernah mati. Dan ia berjalan tergesa dengan perut lapar dan kembung. Nun di belakang sana murid-muridnya berdiri dan bernyanyi: “Rusa jantan berlari masuk kantin ….”

(2003)

Minggu, 22 Januari 2012

STANZA MENJELANG PERJALANAN

Puisi Hadi Napster:


:::::::
STANZA MENJELANG PERJALANAN
: Direktur Eksekutif BPSM

I
kalau nanti aku pergi
sampaikan pada tunggang rindu
tanah pilih yang memahat namamu
dalam notasi—buku harian telah koyak
merpati itu tak lagi ingkar janji
mereka kini setia, mengkaji
kabut di wajah kekasih

II
kalau nanti aku pergi
sayap-sayap bidadari masih berkepak
mengeja semiotika lewat kenduri air mata
jendela kita sama-sama basah-gelisah
ya, musim bunga dan jemari waktu
tiada jemu menggubah simfoni
dari kedalaman rasa

III
kalau nanti aku pergi
haturkan bagi sultan, keinginan
epitaf pal putih itu semakin usang
tidakkah ukiran kaligrafi lebih indah?
pula balada penuh isak-isak sajak
tambat-ikatkan! benamkan!
bersama tahajud ilalang

IV
kalau nanti aku pergi
sebait stanza tentu kau mau
leburkan nada-nada angkasa muda
di antara personifikasi kandil asmaraloka
setelahnya, hanya sepi-sepoi zikir saja
lelap menimang harap, mendekap
segitiga sama sisi

Bandung, Januari 2012

Minggu, 08 Januari 2012

MENYUSURI JALAN BERLUMPUR

: Neni Lidia Iswandi

jalan terjal berliku menuju istana cinta, sungguh
pepohonan ranggas di tepi jalan, angin ingin begitu kencang
menyapu segala bayang kanak-kanak yang haus pendidikan
kaki ini terus menapaki jejak pengabdian penuh senyuman

jalan mendaki dan menurun, penuh lubang
kilihat kerbau berkubang di tanah berlumpur
sapi dan kambing hiulir-mudik memenuhi jalan
aku tersenyum dan memetik kuntum bunga doa
untuk kupersembahkan bagi rasa haus dan dahaga mencinta

aku terus berjalan meniti pematang sawah
menanam biji-biji padi dan menunaskan harapan
kelak, pada masanya biji-biji padi yang kutanam
akan tumbuh di luas petak sawah menuju rumah sekolah
aku akan terus berjalan menggandeng tangan-tangan gemetar
haus masa depan; akan kudayung sampan dan perahu
menyisir batang bungo, menghilir ke uluan
menjemput senyum ranum penuh rasa syukur


jambi, 09 januari 2012
puisi ini memenuhi permintaan Neni Lidia Iswandi untuk dibacakan pada sertijab

Selasa, 03 Januari 2012

SAJAK TAHUN BARU

tahun boleh berganti dan berhala dijadikan tuhan
bakarlah jutaan kembang api saat detak-detik 987654321
percikan-Nya takkan sanggup terganti, kilau-Nya tetap saja
memesona bagi sesiapa yang biasa berjalan di jalan sunyi

tiuplah berjenis terompet bersama sorak-sorai
di tengah lalu-lalang kaki-kaki telanjang
dalam dansa-dansi berpasang
melenggang di tengah pinggul-pinggul bergoyang
segala riuh dan gemuruh itu takkan imbang
dibanding terompet penanda kiamat yang kan datang
 

belilah sepatu baru, baju, parfum, dan aksesoris duniawi
semua harta duniawi yang kalian miliki
tak sebanding dengan kekayaan-Nya
maka saat detak-detik pergantian tahun ini
kubakar gairah menapaki jalan sunyi
menuju arah telunjuk-Mu.
akhir desember 2011

Sabtu, 05 November 2011

NARASI SEEKOR SAPI

malam ini aku menjadi seekor sapi
di tengah sunyi yang menyileti aku bermunajad
di halaman baiturakhim melafazkan takbir dan tahmid
menggamit debar yang mendebur dalam diri
mendekap maqam dan makam sepanjang malam

~ andai engkau adalah hakim agung, kuserahkan hidup dan matiku di kilat mata pisau
esok hari; iris dan cincanglah kulit dan dagingku, sisihkan tulang belulang
aku bersiap menuju pulang ~

aku adalah sapi, merumput di halaman mesjid
menjeritkan aneka rasa di tengah gemuruh bahasa langit
menyingkap tabir rahasia kepasrahan
dan keikhlasan


05/11/2011
: jelang idul adha