Senin, 13 Februari 2012

PELAJARAN PUISI

Oleh: Joko Pinurbo

Ia sering bingung: apa yang harus ia lakukan untuk murid-muridnya saat ia memberikan pelajaran puisi. Susah-susah amat. Ia bentangkan saja puisi di papan tulis atau di dinding kelas.

“Puisi itu hutan rimba,” ia memulai pelajaran. “Kalian mau jadi anak rimba?” Meskipun sebagian besar muridnya anak-anak kota, mereka ternyata mau mencoba menjadi anak-anak rimba. “Kota juga rimba,” cetus pak guru yang pandang matanya seluas rimba.

Setelah menunjukkan beberapa celah untuk masuk rimba, ditambah sedikit penjelasan tentang peta rimba, ia meminta murid-muridnya segera menjelajahi rimba. Semula ada yang takut-takut, namun setelah dilecut-lecut akhirnya berani juga. Ada pula yang belum-belum sudah bergidik: “Kalau ada ular, bagaimana?” Pak guru merasa geli: “Jangankan di hutan, di kamar mandi pun kadang ada ular.”

Ribut sekali. Mereka berhamburan ke dalam rimba sambil bersorak-sorak: “Rusa jantan berlari masuk hutan….” Kemudian ada yang menimpal: “Curang! Memangnya hanya rusa jantan yang bisa berlari masuk hutan? Rusa betina juga bisa. Ayo balapan!”

Guru puisi itu tampak tenang-tenang saja, tapi waspada. Ia sudah sangat sering masuk hutan dan tahu rahasia rimba. Ia sibuk berjaga-jaga, siap memberikan pertolongan darurat bila, misalnya, ada muridnya yang linglung atau tersesat.

Tiba-tiba suasana berangsur senyap. Tak terdengar lagi derai tawa dan suara bernyanyi bersahutan. Ia mulai panik. Jangan-jangan mereka benar-benar tersesat. Jangan-jangan ditelan gelap. Jangan-jangan ada yang masuk jurang. Jangan-jangan ada yang digigit ular. Ia ingin sekali mencari dan menemukan mereka, tapi sama sekali tak ada sinyal suara. Malah ia sendiri tiba-tiba takut tersesat. Takut pada yang tak terlihat.

Ia masih tercenung gundah ketika murid-muridnya satu persatu muncul dari dalam rimba. Ada yang pakaiannya kusut dan kotor. Ada yang wajahnya belepotan tanah. Ada yang lecet-lecet, bahkan luka-luka. Ada yang pantat celananya jebol. Ada yang kehilangan tas dan kamera. Ada yang pura-pura kesurupan dan sakit jiwa.

Setelah semuanya berkumpul kembali, dengan nada murung ia berkata: “Maafkan saya ya, tadi cuma menunjukkan jalan masuk rimba, tapi tidak memberi tahu jalan keluar rimba. Aku ingin menjemput kalian sebenarnya, tapi khawatir kalian merasa dikira anak manja.” Seorang murid yang rambutnya jadi mirip rimba menukas: “Jangan terlalu sensi(tif) dong Pak. Kami baik-baik saja. Lihat nih, kami masih utuh.”

Tiba-tiba matanya berbinar-binar kembali. Lalu ia agak kewalahan mendengarkan celoteh murid-muridnya. Tadi saya hampir terperosok ke jurang lho Pak. Saya berpapasan dengan ular. Saya malah sempat mandi di pancuran. Saya ketemu pelangi di sungai. Tadi ada monyet naksir saya lho Pak. Saya terjatuh tanpa sebab. Saya terguling di tebing. Saya anak rimba!

Bel berbunyi. Bubar. Pelajaran puisi (untuk sementara) selesai. “Terima kasih ya Pak.” “Lho, jangan berterima kasih kepada saya. Berterima kasihlah kepada puisi.” Ia baru sadar bahwa tadi ia tidak sempat sarapan sehingga perutnya kembung. Agak terburu-buru ia meninggalkan ruang kelas. Langkahnya kelihatan goyah. Tubuhnya kelihatan ringkih. Tapi ia adalah raja rimba. Ia kepalkan dan acungkan tangannya: “Hidup puisi!”

Gerimis berderai membasuh rambutnya yang keperak-perakan. Gerimis siang. Seperti ribuan diksi dan imaji berhamburan dari pohon hayat yang rimbun dan tinggi. Seperti ribuan morfem dan fonem bertaburan dari pohon waktu yang tak pernah mati. Dan ia berjalan tergesa dengan perut lapar dan kembung. Nun di belakang sana murid-muridnya berdiri dan bernyanyi: “Rusa jantan berlari masuk kantin ….”

(2003)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar