Sabtu, 05 November 2011

NARASI SEEKOR SAPI

malam ini aku menjadi seekor sapi
di tengah sunyi yang menyileti aku bermunajad
di halaman baiturakhim melafazkan takbir dan tahmid
menggamit debar yang mendebur dalam diri
mendekap maqam dan makam sepanjang malam

~ andai engkau adalah hakim agung, kuserahkan hidup dan matiku di kilat mata pisau
esok hari; iris dan cincanglah kulit dan dagingku, sisihkan tulang belulang
aku bersiap menuju pulang ~

aku adalah sapi, merumput di halaman mesjid
menjeritkan aneka rasa di tengah gemuruh bahasa langit
menyingkap tabir rahasia kepasrahan
dan keikhlasan


05/11/2011
: jelang idul adha

Jumat, 30 September 2011

MENYISIR JEJAK SAJAK DI PANTAI KERINDUAN


[MENYISIR BERKAS SAJAK]
suara chairil menjauh saat sauh perahu dilabuh
suara issmail memanggil-manggil, menjejakkan telapak kaki di pasir
dan siti hajar pun berseru "zamzam" dan air itu tak pernah susut
terus memancar dan memencar ke seluruh penjuru padang pasir

[DI PANTAI]
irama kasidah dan rentak rebana di luas savana dada
terus mendetaak sebagai jarum jam, bergerak ke kanan
melingkari angka-angka: menghitung langkah

[KERINDUAN]
di pantai ini kumenemu cangkang kerang
teripang dan sebuah bayang yang mengejang
sementara riak dan ombak menjadi gelombang
menyapu nama-nama yang basah, dibasuh
lidah ombak serupa perahu kertas menuju cakrawala
nun jauh di sana!

30/09/2011

PUISIKU MENYUSUP LALU MENYUSU SEBELUM PADA AKHIRNYA MENYUSUT


[PUISIKU MENYUSUP)
larut di kedalaman dada laut
gelora-Nya senantiasa menggulung ombak resah
resahku. resah yang membuncah

aku tengadah di bawah rekah bibir-Mu
mendamba dan meminta usapan dan asupan cinta
melaratkan dan mendaratkan harap yang lindap

[LALU MENYUSU]
di geriap ayat-ayat
memaknai segala isyarat
sepanjang riwayat bercinta

aku ingin berlama-lama menyusu
segala yang bernama hakikat dan syariat
lengkap dengan hasrat saling dekap

[PADA AKHIRNYA MENYUSUT]
kembali menjadi remah
mengabu serupa debu
di kaki-Mu


29/09/2011

Sabtu, 17 September 2011

SEBUAH PUISI REKAH DI BERANDA DADA


SEBUAH PUISI REKAH DI BERANDA DADA
: usai membaca "surat cinta" dari melaka

[SEBUAH PUISI]
rekah di beranda dadaku, terada ada denyut
dan aroma maut saat namaku kausebut dan kausambut
benang-benang puisi kujalin sebagai tenun
menonjolkan kaligrafi sebuah hati

seperti juga senyum ranum
mekar di atas tikar saat tak lelah kuciumi wajah tengadah
tak kenal menyerah, terus terengah menyebut namamu
"tuan tuhan?", jawab penyair serupa suara desir
"maaf, jiwaku sedang berjalan-jalan mencari sandaran"

[REKAH]
daun dan kelopak puisi itu rekah
berkembang menjadi bakal buah

[DI BERANDA DADA]
tiada kata
hanya doa mengangkasa
menembus langit hitam awan gemawan

aku hanya mau kautawan
di beranda rumah cinta
peuh pijar cahaya pelita!


sanggar kreasi
14 september 2011

DI TEPI DANAU MENIKMATI BIANGLALA BERSAMA HERU EMKA


sajak dimas arika mihardja:
DI TEPI DANAU MENIKMATI BIANGLALA BERSAMA HERU EMKA

[Di Tepi Danau]

terasa benar kesejukan senyummu, emka
kau duduk di sebelahku mengelus kumis yang melebat
jadi hujan keharuan

sepasang angsa berenang di air yang tenang
menyisir alir yang meriak ke tepian danau
terasa kau dan aku sama merindu percik pesona
renjana jingga

bersama kita duduk
diaduk gelora mencinta:

[Menikmati Bianglala]

caakrawala langit terasa wingit
kita saling gamit, terkadang genit
menikmati bianglala di retina mata
dan terasa alangkah nikmatnya duduk bersama
diaduk dalam secangkir kopi atau teh hangat

merah kuning jinggalah warna cinta kita
berpendar di luas cakrawala, seperti teja berkilau
dalam pendar cahaya matahari senja

alangkah tambun tubuhmu, emka
serupa puisi yang padat isi
berloncatanlah imaji dan ilusi
mewarnai garis warna pelangi

[Bersamamu Heru Emka]

lahir puisi di antara intermezo
di dunia nyata dan alam maya
semoga kita tak hanya memperbanyak mayat
namun senantiasa melayat langit dengan doa
sepenuh cinta


bengkel puisi swadaya mandiri, 2011

Minggu, 04 September 2011

PUISI DWI BAHASA DAM


Untuk berpartisipasi memenuhi undangan Panitia KOREA ASEAN POET LITERATURA FESTIVAL (KAPLF) yang diselenggarakan di Pekanbaru 25--29 Oktober 2011 dengan tema SOUND OF ASIA: Malay World Heritage akan hadir 5 penyair Korea Selatan, 22 penyair Asia Tenggara, 2 partisipan dari Malaysia, Singapore, Brunei, Philiphins, Burma, Myanmar, Laos, Vietnam, Kamboja, dan Timor Leste, serta 50 penyair Indonesia terpilih oleh dewan kurator. Panitia meminta 8 puisi dalam bahasa Indonesia dan Inggris. DAM ingin berbagi dan meminta masukan, sebab dalam seminar juga akan dikemukakan proses kreatif masing-masing penyair (DAM menyiapkan sebuah esai untuk itu). Mohon kritik, saran,dan pandangan dari teman-teman sekalian

Salam DAM



ZIARAH CINTA
: refleksi 6 tahun tsunami

 /1/
telah kau bubuhkan tanda luka di dada laut
di kedalaman palung terdalam
lewat riak yang mengombak
lewat gelombang kasih sayang
yang menyapu kata dan laku
di antara luka doa mencinta

/2/
aku menyisir jazirah
memunguti remah puisi
kuziarahi kuburan massal tanpa nisan
doa tumbuh sebagai rumput
dan bendera yang berkibar

/3/
usai tsunami aku menjadi kapal besar yang terdampar
menjadi lantai ubin dingin mesjid raya baiturrahman
menciumi kedai kupi ulee kareng
mencumbui gerai rambut dan kabut

 hotel jeumpa banda aceh, 25 desember 2010

A LOVELY VISIT
the reflection of 6 years tsunami


/1/
you have signed a seriously insulted on the chest of the sea
in the deepest riverbed
through the ripples of rolling waves
through the waves of love
that wipe off the words and behaviors
among the insult pray love

/2/
i walk along the shore
taking the crumbs of the poem
i visit the mass graves without gravestones
pray appears as grass
and the wavy flag

/3/
after the tsunami i become a cast giant ship
become cold floortile of baiturrahmn mostque
smell the coffe shop of ulee kareng
flatter the loosen hair and mist

hotel jeumpa banda aceh, 25 decemcer 2010



LONCENG BERKELENENGAN [KELAHIRAN ITU]

di kandang domba
hampir tengah malam
bintang jatuh
angin
dingin
lahir
bayi
suci

lonceng lalu berkelenengan
pucukpucuk cemara
menunjuk langit
kerjap bintang 
kapas salju

ada yang terasa lepas 
dari sela jemari
melesat dari dada:
haleluya!

Hotel Jeumpa Banda Aceh, 2010


BELL RINGING

in the  sheeppen (Lamb of God)
in the midnight
the star fell
wind
cold
born
a baby
holy
then bell was ringing
the leaves of casuarina tree
pointed to the sky
twinkle of the stars
cotton snow

there was something loose
from the fingers
fell from the chest
hallelujah!

Hotel Jeumpa, Banda Aceh 2010




DHAPU KUPI


di dapur, ibu menyeduh kopi ulee kareng  
uap dan asapnya mengepulkan harap dan nikmat
lalu di cangkir yang terhidang di meja itu
mengapung seraut wajah bocah hitam manis
dalam senyum yang ranum

inikah wajah rencong itu?
pada asap dan aroma kopi yang kureguk
terasa ada sesuatu yang selebat asap
kuharap sendok demi sendok yang kuaduk
mencairkan segala doa dan luka

dalam cangkir kopi
di genang kenangan
segala rasa berenang ke tepian ranjang
menjelma pusaran dan gelombang
dan kita kembali erat berdekapan


hotel jeumpa banda aceh, 24 desember 2010


DHAPU KUPI

In the kitchen, the mother made a cup of coffee ulee kareng
the steam and smoke evaporated expectation and comfort
then on the table there was a cup of coffee
appeared a sweet baby face
with the sweet smile
was it the rencong?
of the steam and smoke that i swallowed
there was a flash taste of smoke
i stirred the coffee spoon by spoon
to melt the whole insult and pray

in the cup of coffee
there was a memory
all feelings swam to the edge of the bed
became eddy and wave
and we tightly hug


hotel jeumpa banda aceh, 24 december 2010



SALAM JEUMPA, IBU


sayap kataku sepagi ini kembali melangit
di serambi mekah. mekarlah kerinduan yang rindang
tembang menggema di bandara sultan iskandar muda
merayap di ruang hotel jeumpa
mencair di dhapukupi

kulihat senyummu netes bersama kuah mie
di antara kepiting rebus, tempe dan tahu
yang kautahu semua itu adalah pendar doaku

salam jeumpa ibu
aku telah menjadi gerakan anak merdeka [gam]
dan diamdiam terus menampung getar kerinduan
sepagi ini, ibu, aku bersua dengan suarasuara
dan makna mengendap di luas sajadah membasah

hotel  jeumpa, kamar 203


NICE TO SEE YOU, MOTHER

the wing so early flew, i said
in the serambi mekah the deep yearning was blooming
the song was reverberating in sultan iskandar muda airport
creeped over the room of hotel jeumpa
melted in the coffee shop
i saw your smile and tear dropped into the bowl of noodle
among the boiled crab, tempe, and tahu
what you know those were my phosphorescent pray

nice to see you mother
i have become a hero for freedom
and secretly keep holding the yearning
so early, mother, i heard the voices
and sense settled on the wide and wet prayer rug

hotel jeumpa, room 203



LARUNG RINDU

begitu ingin kukisahkan
perigi rindu di gurun sunyiku*)
begitulah awal langkah menapakkan jejak
di pantaimu; aku menemu riak dan ombak
mencumbu karang, teripang, segala bayang

di pantai ini kembali kutangkap gelinjang rindu
berdesir  di atas pesisir; kusisir rambut waktu
yang tergerai dan tak lelah kuurai dengan jemari bergetar
masih kurasakan sisa isak terakhir saat angin berdesir
dan kuabadikan pada sebuah rendezvous
saat dirimu begitu nervous dan aku serupa ahasveros
tak letih mengeja erros

begitu ingin kukisahkan
perigi rindu di gurun sunyiku*)
lewat desir angin penuh ingin
di tengah pergulatan menahan kerinduan


bengkel puisi swadaya mandiri jambi, 2010
*) larik puisi "Larung Rindu" karya Heru Emka


FLOAT YEARNING

i really wanted to say
well yearning on the lonely desert*)
that was the beginning of  stepping the foot
on your shore, i found  ripple and wave
flatteried the coral, sea slug, all shadow

on this shore again i caught the jump up and down of yearning
rustling on the beach, i harrowed  time hair
i hang hair down with the tremble fingers
i still felt the last crying and sobbing when the wind rustling
and i carved on the rendezvous
when you were so nervous, i was like ahasveros
untired of catching the erros

i really wanted to say
well yearning on the lonely desert*)
through the rustling wind full of desire
in fighting the yearning     

bengkel puisi swadaya mandiri jambi, 2010
*) “Larung Rindu” by Heru Emka


PESAN ADAM

saat kejadian:
adam sendiri di bawah pohon kuldi
jakunnya naikturun sendiri
mengunyah sepi
lalu "Kun"
hawa menemani
merajut kesetiaan purbani

monyetmonyet bergelantungan di dahan
berkembang biak melahairkan darwin
mereka berkawan dan kawin
lahirlah evolusi sejarah
menghilangnya ekor demi ekor
melupa dalil dan dogma

:
ada cinta di mesjid
ada sapa di gereja
ada makna di vihara
ada kata di pundipundi 
jadilah puisi


bengkel puisi swadaya mandiri, 2010


ADAM’S MESSAGE

when the  creation
adam was alone under the kuldi tree
adam’s apple went up and down
chewing the quietness
then ‘Kun’
hawa accompanied him
netted the primeval faithfulness

monkeys hang on the trees
proliferated darwin
they mingled and married
born the historical evolution
lost them one by one
forgot the theory and dogma

there was love in the mosque
there was greeting the church
there was sense in the vihara
there was saying in the purse
it became a poem

bengkel puisi swadaya mandiri, 2010


AQUARIUM DAN GELOMBANG CINTA


dalam aquarium ini ikanikan berenang
di antara karang
dan gelombang cinta

pendar cahaya lampu
kilau air bening
gericik doa

ikanikan melahap setumpuk hasrat
penuh harap
meski terkadang megapmegap



bengkel puisi swadaya mandiri, 2010



AQUARIUM AND WAVE OF LOVE

in this aquarium the fishes were swimming
among the coral
and the wave of love
the phosphorescent of the light
the shine of the pure water
sound of pray

the fishes swallowed a great amount of desire
full of expectation
though sometimes panted

bengkel puisi swadaya mandiri, 2010

YESSIKA, BUNGA DAN KUPUKUPU

jelang tutup buku, di halaman terakhir
kembali aku mengukir namamu: yessika
sebuah puisi cinta beraroma bunga

dalam puisi yang kutulis itu wajahmu terhampar
di  antara kelopak bunga dan kupukupu mengepakkan
sayapsayap harap: ah, kaligrafi namamu
menyumbulkan rindu yang rindang
dan suaramu mengalunkan qasidah keagungan

jadilah kupukupu bagiku, yessika
gerakkan jemari lentik itu menyentuh serbuk putiksari
hingga kelak dari rahim waktu lahir anakanak sajak
yang tak lelah mengecup kelopak
namanama harum bunga

 bengkel puisi swadaya mandiri, 17-12-2010

 YESSIKA, FLOWER AND BUTTERFLY

at the end of the book, on the last page
again i wrote my name: yessika
a lovely poem full of flower

there was your face on the poem that i wrote
among the sheath of the flower and butterfly flew
the expected wings: ah, calligraphy was your name
showing the deep yearning
and your voice sang the grandeur kasidah

be a butterfly for me, yessika
move those curve fingers touching the pollen
finally from time to time born new verses
who are not tired of kissing the sheath
the names of fragrant flower

 bengkel puisi swadaya mandiri,17-12- 2010

Minggu, 31 Juli 2011

SEBELUM PERGI KEMBALI KUTITIP JANJI

: dimas arika mihardja


[SEBELUM PERGI]
kekasih, sebelum pergi
sebelum sebenarbenr kembali
kuingin kaukemasi segala bekal perjalanan
jangan lagi kaucemasi kefanaan dunia
yakinlah keabadian cinta

sebelum pergi, kembali ke perjalanan jauh
melewati senja berbatas cakrawala
melintasi pintu-intu waktu
memunguti keping birunya rindu
kuingin kaukeramasi, menjamasi rambut tergerai
saat badai

sebelum pergi, kembali meniti waktu
kembali menuju kekeabadian cinta
aku ingin bersamamu menangkap pijar percik pesona
cahaya cinta

[KEMBALI KUTITIP]

pesan langit melalui reranting kering pohon itu
adalah isyarat bahwa hidup tak sebatas menghirup udara
menghembuskan hurufhuruf hidup dan mati
melainkan juga pralambang mengingat jalan pulang

langit kelabu di atas itu
geriap sayapsayap senyap yang menyergap
istana awan dan kereta kencana bayangan cinta
berderap di atas segala harap

kembali kutitip noktah cinta
sebagai penandanya
sebab aku hanya punya
[SEPOTONG JANJI]

sanggar kreasi, 15 juli 2011

AKU INGIN KEMBALI JADI MEMPELAI

marhaban ya ramadhan
izinkan aku kembali menjadi mempelai
duduk di singgasana dzikir dan takbir
menghitung jemari dari bilangan dosa

aku ingin kembali jadi mempelai
bersanding dengan dindingdinding hati
yang tak henti melafazkan harum nama bunga

aku ingin kembali jadi mempelai
sebelum pada akhirnya rebah jadi bangkai
yang tak sanggup sesiapa pun mengungkai
selain amalan dan keyakinan paling dalam
paling pualam: palung kasmaran


sanggar kreasi, 31/07/2011

SAJADAH BUAT BUNDA

: Anie Din

kurajut doa dan harap menjadi sajadah
kubentangkan dari rahim hingga buaian
pada setiap sisi-Nya kurajut benang sutera berenda
ada lampu hias bergantung
gebang, pintu, jendela rumah
pohon palma aneka bunga

kubentangkan selembar sajadah
dari pintu rumah hingga gerbang pengampunan
jalan dan pohonan tak lelah membisikkan risalah pejalan
dan aku hanya ingin satu dekapan
dan kecup paling lembut

kucium wajah dan aroma bunga
di hamparan luas semesta
jemariku bergetar menghitung ruas di ranting doa
dan dosa, dan dosa, dan dosa ampunilah kiranya

bengkel puisi swadaya mandiri, 31 juli 2010

MELEPAS JULI

sampai di dermaga, ikhlas kulepas engkau pergi
melayari lautan yang menggelorakan dada karang
aku masih berdiri di atas tebing berbatu padas
tak lelah membaui asin garam dan mengusap keringat
yang leleh bersama kecupan perlahan

dengan sampan daun hijau kau menjauh
di atas riak dan ombak cintaku, mengembun dan menimbun
lalu berubah menjadi jarumjarum alit, menusuki segenap pori
dan sendi: pergilah juli biarkan aku tetap berdiri di pinggir perigi
melepasmu pergi

aku akan kembali memasuki beranda rumah cinta
bersama yessika; dalam rengkuhan hangat keluarga
aku akan kembali menyusuri jalan sunyi
menulis puisi: abadi mendekap cinta ini

: selamat jalan juli, kembalilah pulang
dalam erang tertahan


bengkel puisi swadaya mandiri, 31 juli 2011

LAGU SIUL

: buat syahrul

deg terasa di dada
syahrul yang pinter bersiul
tepat saat usai sholat maghrib dan mengucap salam
lalu diam dalam keabadian

dari siul kembali membuhul rasa masgul
ingin kupanggul ketulusan doa
tetapi deg, terasa siul itu nyata melengking
nyanyikan senja di batas kata

lepas maghrib siulanmu raib di rs arafah
lalu gerimis pun luruh
mungkin hingga subuh


28/07/2011
"Selamat Jalan sahabatku di malam Jumat keramat ini, doaku menyertaimu"

Kamis, 09 Juni 2011

NYANYIAN PENGEMBARA DI RELUNG SUNYI SAAT SENDIRI

NYANYIAN PENGEMBARA

jauh jalan kutempuh
kaki melepuh pikiran kumuh
kepada-Mu segala berlabuh

2011

DI RELUNG SUNYI

tiada yang benar-benar sunyi
sebab hatiku melagukan nama-nama
menghirup huruf keharuman:
puisi abadi

2011

SAAT SENDIRI
: nabila dewi gayatri

mataku tiada henti menyapu wajahmu
aku ingin menjadi kuas
di luas lukisan kesejatian wajah

2011

Selasa, 07 Juni 2011

DI BUKU HARIAN KAU MENCIUM NISAN

DI BUKU HARIAN

selalu saja kauselipkan pembatas halaman
setelah menuliskan bahasa airmata
mencaricari seteguk cuka
selalu saja kautandai sebagai alamat tamat

2011

KAU MENCIUM

begitulah, tak pernah lelah
memasuki taman bunga
memilah kelopakkelopak
memilih warna mengorak
~ adakah aroma-Nya terkulum?

2011

NISAN

kutandai namaku pasti
di batu nisan ini
abadilah sebagai pualam

2011

DI PANTAI KEEMPAT RINDU TERDEKAP

DI PANTAI KEEMPAT

kaulumat bibirku
di tengah deras arus-Mu
di pantai keempat
sebelum jarak
terlipat!

2011

RINDU

inikah rupa rindu?
batubatu menahan deru arus
tegak menyangga awan dan hujan
terus mengarus di luas rengkuhanku yang ringkih

2011

TERDEKAP

apakah yang terdekap?
mayatmayat
apakah yang mendekat?
bibir maut melumat penuh hasrat


2011

DUDUK SENDIRI DI AYUNAN INGAT JALAN PULANG

DUDUK SENDIRI

diaduk sepi, secangkir kopi berpikir sendiri
apakah yang bergerak di cuaca berserak?
awan berarak serupa hewan ternak
siapa pula pengembalanya?
ah, sajak ini mengajak merenung
naik ke puncak gunung yang murung
atau tentang sekawanan burung yang putih
tak letih menyusuri pelangi senja sebelum malam
benarbenar mengisyaratkan tidur panjang

2011

DI AYUNAN

aku ingin jadi orok yang nyenyak dalam buaian Kasih-Mu
dininabobokkan oleh tembang yang mengambang
penuh irama gelora mencinta dan mencipta
cintailah aku sebagaimana Dia mencipta semesta
aku ingin diasuh dan dibasuh oleh gericik air bening
airmata rindu dan keharuan
aku ingin menikmati ayunan
penuh nyanyian
mendamaikan

2011

JALAN PULANG

duduk sendiri
di ayunan ini
aku teringat jalan pulang
serupa sekawanan burung terbang
menuju pulang ke sarang keabadian!

2011

Sabtu, 04 Juni 2011

O KUCING MENGAMUK BAPAK MENGAYUN KAPAK

spesial untuk sutardji calzoum bachri


telah katam kubacabaca kredo hingga ke sembilanpuluhsembilan
tuhan tak mengijinkan langkah kaki menemu o sebab kucing mengiau dan mengigau selalu
dalam aortaku mencakarcakar gelisah rasa seperti juga bapak yang mengayunkan kapak ibrahim
memenggal kepala berhala berhala di dada memancung dan memancangnya di tugutugu
lalu orangorang datang berduyunduyun membaca mantra o berhala obama
o berhala amerika o terror bom mengancam dan jihad menapakkan jejak pedang
di sembarang tanah lapang di sepanjang gang dan loronglorong
menghadang pintu menjadi palang paling kaku!

o kucingta kau (baca: kucinta kau) serupa seorang bapak mengemas sajak
menenggak tuaktuak kata memabukkan
mengunyah mantramantra purba menjadi barah nanah
lalu kausembursemburkan di hadapan orangorang yang entah kenapa mau saja
mengurbankan sedikit uang jajan atau uang belanjaan untuk membeli alina
yang terselip di antara alinea antara jembatan penghubung dunia nyata dan maya
o mayat katakata di mana makam makna?

o kucing itu tak lagi mengamuk
bapak itu tak lagi mengayunkan kapak
sayapsayapnya melangit dengan kecipak kepak-Nya
lalu hening heneng sepi mamring
dari sunyi kembali ke bunyi
jalan suci memilih sufi
ilalang kian tumbuh kembang
bergoyang siang malam
membacabaca alifbata wau wau alifbata yaya
: sajadah pun membasah!

jambi, 3 mei 2011

Sabtu, 07 Mei 2011

BROSS ROSE

~ bagi putri-putriku


kubingiskan bross rose untuk disemat di dadamu, putriku
isi dadamu haruslah memekarkan kelopak bunga
mengaromakan makna

bukan lantaran dasi martabat menjadi tinggi
bukan semata akal budi harkatmu mewangi
tetapi aroma dan aura yang memancar dari relung hatimu
jangan mengejar jejak langkah kartini dengan sepatu berhak tinggi
tinggikan naluri mencintai sebagai tradisi

bagimu, putri-putriku
bagikan harum wangi sepanjang musim
sebagai bross rose merah merekah indah
melangkahlah di jalan amanah


sanggar kreasi, 2011

SAAT BERSAMAMU

kubasuh kedua telapak, bukan cuci tangan
kubasah jiwa mencinta, bukan kuasah tajam dendam merajam
kuasuh rasa merindu, bukan punguk merindukan bulan
kuasah gairah menyembah, bukan memuja berhala benda-benda

saat bersamamu segalanya sungguh tiada makna
hanya terasa magma di dalam dada kian menyala-nyala
kurasakan air menderas sepanjang sungai dalam diri
beriak dan berkecipak dalam jejak sajak

saat bersamamu segalanya melagu
menyanyikan qasidah cinta semata
mendendangkan rindu yang kian rindang
hatiku berkompangan penuh barzanji dan puja-puji
hanya padamu segala cahaya cinta tak pernah padam
hanya padamu aku berguru untuk tak meragu
hanya dalam dekapmu kehangatan tak tergantikan


sanggar kreasi, 3 mei 20

SAJAK YANG MENGAJAK

malam ini engkau menjelma sajak
yang mengajak berbincang tentang ada dan tiada
di antara ruang begitu maya; aku selalu percaya
Engkau ada dan tak lelah mengajak kakiku melangkah
hanya menuju gerbang ampunan

ya, debulah aku
terjadi dari abu sisa pembakaran dosa
dan genggam pahala
ya, leburlah aku oleh senyum keagungan
yang tiada mungkin dilukiskan oleh jemari yang gemetar ini

air laut jadi tinta
dan deburnya menjelma cinta
akar dan ranting pohon menjadi pena
sungguh tak kuasa meneteskan makna
sebab magma makna ada dalam dekapan
yang diamdiam mengajakku merangkak di bawah kaki


sanggar kreasi, 2011

Senin, 02 Mei 2011

PINTU-PINTU PUISI

Aku hanyalah pintu. Masuklah dengan segenap akal budi ke dalam ruang renung. Hanya dengan ketulusan, aku membuka diri bagi segala yang bernama misteri. Sungguh, tak ada rahasia tersembunyi di balik diriku. Aku akan mengantarkan langkah kakimu bertualang menyisir desir waktu, menyeberangi lautan makna dan nilai-nilai spiritual, ruhaniah, dan batiniah.

Masuklah. Tak perlu ragu. Di sana bersemayam jejak rindu. Masuklah ke serambi hatiku, ruang pribadimu sendiri. Ruang pertapaan penuh pertanyaan dan sekaligus jawabannya. Aku telah membuka diri untuk perjalanan sunyi penuh dengan bunyi. Masuklah ke dalam diriku,engkau akan menemu siapa sejatinya dirimu. Kesetiaanku serupa matahari mencintai bumi, memberi sinar selama-lamanya dan tidak pernah meminta sesuatu kembali, melainkan rasa cintamu yang bergelora.

Sebagai pintu, aku nganga terbuka menyuguhkan lunga menganga lantaran mencinta. Aku benar-benar nganga terbuka. Sederhana saja. Hanya melalui diriku yang terbuka dan terluka, engkau akan mampu mengusap segala luka dan derita mencinta. Begitu bersahaja. Aku sama sekali terbuka, maka bukalah pintu hatimu dan nyanyikanlah tembang paling merdu, berdansa di keluasan jiwa. Tak perlu meragu, berdiamlah di kedalaman cintaku!

Begitulah, Komunitas Pintu telah membuka dirinya untuk terus belajar dan bekerja di dalam keindahan puisi sebagai piranti spiritualitas, ruhaniah, dan batiniah. Melalui banyak pintu: pintu di dadamu, pintu di matamu,pintu di telingamu, pintu di rasamu, pintu di segenap pori-porimu, pintu di liang paling sakral kalian bisa melahirkan puisi lalu mengasuhnya sepenuh cinta kasih.

Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2011

Sabtu, 23 April 2011

KASTA, MAHKOTA, DAN RUANG PANDANG YANG BERBEDA

aku ingin menulis puisi. puisi ini kutulis saat hujan gerimis dan sepasang angsa berenang berkejaran di kolam depan rumah. angsa betina yang bersayap putih tak letih mengepakkan sayap-sayap cintanya, angsa lelaki yang bersayap hitam cenderung melindungi kekasihnya dari batu-batu yang dilemparkan oleh tangan-tangan kekuasaan ke tengah kolam. angsa betina dengan malu-malu berkata, "kanda, apakah ada mahkota cinta? apakah cinta memerlukan kasta?"

angsa jantan yang perkasa seperti kehilangan kata-kata. ia meraba dan menduga arah pertanyaan dan jawaban yang dikehendaki kekasihnya. dengan berbisik serupa kerisik angin angsa jantan itu pun mulai mengungkapkan perasaannya, "aku bersamamu telah bertahan dalam hitungan 25 tahun. riak dan onak telah mampu kita singkirkan bersama. batu-batu yang dilemparkan persis di tubuh kita saat bercinta kita biarkan tenggelam di dasar kolam. selain itu, aku tiada pernah memilah dan melilih atau membeda-bedakan kasih sayang. kepadamu rasa sayangku tak pernah berkurang sebab rasa sayang itu sungguh tak berbilang. kepadamu dan kepada binatang lain aku selalu memiliki cadangan kasih, sebab kasihku tak pernah pilih kasih".

"kakanda, menjelang ulang tahun pesta perak pernikahan kita, aku merasa ada sesuatu yang lepas dari jemari kita, melesat ke angkasa"

"ya, sewajarnya di ambang senja doa-doa kita meluncur dari sela-sela jari kita, meninggalkan ruas jemari, sekat-sekat perbedaan, atau kasta yang membuat kedirian kita ternista. bersama kita buat mahkota cinta dari daun gelombang cinta, kita padupadan dengan anturium dan anggrek bulan. kita siapkan pelaminan dari tenunan kasih sayang, kita perkuat sandaran kursi, pilar-pilar penyangga tenda. bersama kita menatap bianglala senja yang penuh warna".

"kanda, ah, kanda, andika seperti sediakala, sejak semola memang penuh romantika. tetapi, kenapa orang-orang selalu memiliki sudut pandang yang berbeda?"

"adinda, hakikat cinta itu berada di antara ruang maya dan nyata. cinta tak perlu dinyatakan, tetapi dilakukan. cinta tak pernah menuntut, melainkan selalu bertaut. beragam pandangan orang mengenai hakikat cinta semata-mata bergantung dari tebal dan tipisnya memaknainya. beragam pandangan itu juga bergantung apakah kata cinta itu dilekati harta, sanjung puja, atau dusta? biarlah orang bilang apa tentang cinta. yang nyata engkaulah angsa paling cantik dan menarik bagiku".

"kau dan aku, angsa-angsa putih tak letih mengurai buih, menterjemahkan riak dan ombak,  lalu bersama menunggang gelombang menuju ke keabadian".

di kolam cinta itu tak ada kasta, tiada mahkota, luruhlah pandangan tentang cinta.


Sanggar Kreasi, April 2011

Kamis, 21 April 2011

PUISI DI MATA KEKASIH

~ rita indrawati dan tiga putri dewi


aku bukanlah apa atau siapa, di matanya
sebuah puisi terbaca berdenting pada dinding hati
begitu jelas dan tandas: duri-duri yang tumbuh
di wajah bukanlah menjadi masalah, sebab daging
yang tumbuh di antara rongga buah durian
bebijian tunggal lebih kekal mengabadikan cinta

aku bukanlah benda atau berhala, di matanya
sebuah puisi sederhana mekar di luas tanah amanah
sajadah basah; di cerlang senyumnya mekar kuntum-kuntum melati
wangi puja-puji ke langit yang tinggi

aku bukanlah pertapa, di matanya
tumbuh makna seadanya; merona serupa bianglala
saat senja mengurai warna; di mata kekasih
aku adalah puisi yang tak selesai dimaknai
sebab setiap derap ada harap
setiap deru berdetak rindu
dan setiap ragu bersemi bunga doa
di mata kekasih!


bengkel puisi swadaya mandiri, jambi 2011
~ sebuah buku telah terbuka dan puisi senantiasa menyapa dengan cinta

Minggu, 17 April 2011

RIVER MAN AND JULIA

batanghari, oi, batanghari
menarilah bersama riak dan ombak
sebab sampan dan perahu melaju
ikanikan berenang di kedalaman dada senja

julia, oi, julia
dendangkan lagi desah suara itu
menyusup dan berdegup
di dinding dan tebing dada
berdentinglah serupa tuts piano
mencair dan mengalir di nadiku

salam jumpa wahai lelaki penjaga sungai
menyanyi dan menarilah bersama
mendesah dan pasrahlah dalam romansa jingga
sebab di sini, di tanggul sungai ini
telah kutandai segala riak dan ombak
saling desak bersama jutaan sajak

(berjuta puisi menafasi setiap melodi
berdenting bersama desah basah
membasuh lepuh keramba
makna!)


bengkel puisi swadaya mandiri, 12 april 2011

MENARI DI ATAS LIDAH API

~ bagi jejak kartini


bagi jejak kartini, kini, di sini
di bumi yang semakin menua:
bersama kita tuai tarian di atas lidah api

selendang kasih sayang membentang
di sepanjang lorong kehidupan
kemudian di antara selendang yang membelit selangkang
ialah ular berkepala dua, tak lelah menjulurkan lidah api
siap melumat hasrat yang bergelora

di atas permadani bergambar daun waru
tak letih aku menari dengan jiwa lepuh

sangar kreasi, 2011

MONOLOG SENJA, YESSIKA

telah kupintal kerinduan mendalam dalam diam
diamdiam kurajut warna senja bianglala di dada cinta, yessika
kubahasakan rasa terdalam ke dalam kolam jiwa
segalanya menuju muara
mengalirkan makna bersetia

sebagai lahar dingin, kuingin bersama merenda warna senja
sebagai bunga yang rekah pada musim bercinta
menjadi irama yang melantunkan aroma segala gelora, yessika
kejorakan lagi kerling mata pesonamu di ambang senja
sebagai kunangkunang saat malam
tumbuh sebagai embun di ujung daun

kepundan harapan terasa membukit
tumbuh di dada cinta
mengaroma di ujung senja
: yessika, yessika, yessika...


bengkel puisi swadaya mandiri, april 2011

TIGA BAIT BAGI IBU BUMI

ibu, ah, ibu bumi
berabad-abad engkau mengandung akar pohon
menampung air mata duka
lalu mengalirkannya ke lembah nestapa

ibu, ah, ibu bumi
wajahmu mengerut oleh erosi dan gas emisi karbon
engkau megap-megap, tak sanggup mengusap peluh yang leleh
engkau sempoyongan di atas telapak berdarah
tak lagi sanggup menengadah menyebut asma Allah
gunung di dadamu meletus dan menghamburkan magma
lahar dingin lalu mencair di atas kepingan segala keinginan

ibu, ah, ibu
luka itu robekan kain rindu di degup jantungmu
ibu, ah, ibu bumi
tragedi itu rengekan jutaan bayi kurang gizi
ibu, ah ah ah, ibu bumi
aku ingin menyusu dan menyusup ke rongga dadamu
bertapa di relung goa
berenang di atas gelimang gairah mencinta
ibu, ah, ibu bumi
hentikan segala yang bernama tragedi!


bengkel puisi swadaya mandiri, 2011

Rabu, 06 April 2011

SELOKAN ITU ...

selokan itu berkelok ke selatan
pada setiap lekuk ada ceruk dan lubuk
ikanikan menyelam ke relung paling dalam
helaihelai daun yang mengambang di permukaan
menjadi sampan dan perahu perahan rindu

selokan itu penuh dengan aliran seloka
pantun, talibun, dan gurindam
adat bersendi syara', syara' bersendikan kitabullah
puisi lama berendam menyambut kelahiran puisi baru
semangat mencipta penuh cinta

seloka itu bermuara ke laut lepas
ke hidup bebas
menghanyutkan segala doa yang rimbun
melangitkan harap terdekap
hingga malam memasang purnama
di dada Cinta!


sanggar kreasi, 2011

SIANG DI PADANG ILALANG

angin merendah dan mendesah
kesiut-Nya membelai ujung daun ilalang di padang
kuhikmati rintih pedihnya dalam untaian syair lama
"pucuk dicinta ulam tiba" ~ sebuah suara
entah dari belahan jiwa mana
mengambang di siang yang kerontang

"apakah maknanya?" tanyaku di kedalaman hati
ilalang di padang gersang itu pun menjawab dengan bilah lidahnya
yang tajam, "setiap tanya menuju alamat dan hikmah
bertanyalah kemana arah kaki melangkah!"

siang di padang ilalang
menyediakan ruang renung yang paling palung
"telah benarkah arah langkah kakiku
menuju-Mu, kekasih?"


sanggar kreasi, april  2011

Minggu, 03 April 2011

LILIN BAGI SAHABAT

: d. kemalawati, helvy tiana rosa, ardi nugroho

aku tak tahu persis berapa nyala lilin dalam tubuh waktu
yang terang
cahaya itulah aura dalammu

aku diam memantik lilin yang lain
yang kemudian leleh
dan tak lelah menggelar sajadah
membentang ke luas langit

saat kelam
cahaya lilin itu kelak jadi kunangkunang
di mata kekasih


bengkel puisi swadaya mandiri, jambi april 2011

Rabu, 30 Maret 2011

SEPASANG MERPATI

/1/
kekasih, bersama kita untai
sayapsayap kata menjadi doa :
mencinta

/2/
kekasih, bersama kita tanam
warnawarni bunga di taman:
kebersaman

/3/
di luas cakrawala dada
berbiak makna, bersama menuju makam :
keabadian!


bengkel puisi swadaya mandiri, 2011

NDG dan DAM
DAM dan DIHA
DE KEMALAWATI dan DAM
DAM dan SURYATATI A. MANAN (Bupati Tanjungpinang yang Penyair)
DIHA dan AHMADUN YH
DAM dan Rita Indrawati
DAM dan NENI LIDYA
DAM DAN TUTY ANGGRAENI
DAM DAN "MATAHARI"

Senin, 28 Maret 2011

SURAT YANG KUKIRIM PADAMU

surat yang kukirim padamu
penuh isyarat tentang hayat di sepanjang badan
dari ujung kaki sampai ujung rambut
jalan berliku menuju alamat
semua telah tersurat dan tersirat

surat yang kukirim padamu
kutulis dengan jemari bergetar
mencairkan tinta cinta di atas kertas harapan
kukisahkan padamu tentang rambu
kibaran bendera
dan pralambang ada dan tiada

surat yang kukirim padamu
merisalahkan kisah kasih mencinta
derita merindu dan pedih-perihnya penantian:
pencarian terus menerus
        mengarus
memuara
        meriak saling desak
mengombak saling depak
       mengambang diayun gelombang
lalu terbanting oleh lengking kebahagiaan!


sanggar kreasi, 2011

SAJAK BIDADARI BERSAYAP PELANGI

/1/
embun dini hari netes di ubunubun
sayap bidadariku bersayap pelangi
berlampu kunangkunang
menyala terang

/2/
aku menatap langkahmu yang bergegas memanggil taxi
mengendarai sepeda angin di cuaca kian dingin
kuingin, lilin di tubuhku mencair bersama terang cahaya
menyingkap rahasia kelam


/3/
dalam benderang terang cahaya doa
kita kembali pulang
kembali mendulang bayang memanjang


bengkel puisi swadaya mandiri, 28 maret 2011
~ dini hari di rumah eyang erry amanda

Dyah Ayu Sukmawati dan Riyandari Asrita (dua bidadariku)

KUMBAKARNA PAMIT PRALAYA

/1/
setelah bertapa tidur panjang
di dalam goa, engkau mengusikku bangun dari kesadaran
ternyata gunung himalaya meledak mengepulkan asap abuabu
meracuni paruparu; waktu seperti bisu dalam detak yang menyesak
dadaku

/2/
o, begitu yang kau lakukan selama ini
menjual kebohongan demi kesombongan semu
semua mengurung dan menelikungku
detak jarum jam berteriak ~ saling desak
hingga aku tetap terjaga dari kebodohan purba

/3/
setelah huruhara, apakah yang akan kaujumpa?
tentu saja jasadku yang berdebu, bukan lantaran tanah air
bukan lantaran cinta, melainkan oleh tipudaya
yang meruntuhkan sendisendi kehidupan
lantaran itu, aku pamit untuk membunuh adaku
demi sebuah perdamaian yang kauinginkan


bengkel puisi swadaya mandiri, 24 maret 2011

*) pralaya = mati

Kamis, 24 Maret 2011

DERU CAMPUR BIRU

jika chairil anwar mengabadikan "deru campur debu"
aku ingin mengabadikan "deru campur biru" di rumah batu
~ gapura pintu waktu telah menguak senyumku
hanya untukmu; kini aku tak lagi merasa malu
sebab kumau segala kata yang rindang
tumbuh di antara bibir tersenyum

aku ingin mengabadikan deru campur haru
di keharuman pintu waktu ~ mengabadikan
senyuman kemanusiaan bagi sesiapa yang tak rela
menjadi korban; telah kukurbankan pilihan kata
hanya untuk mengabadikan makna
segalanya untukmu, cintaku

jika waktu terus berpusar di dada telanjang
menggemuruh sepanjang malam
membadai dan bergelora di dada luka
di situlah gerak cintaku menarikan ruas jemari
untukmu dan untuk-Mu, wahai kekasih
abadiku.


24 Maret 2011

Sabtu, 19 Maret 2011

SAJAK SAKURA DALAM PELUKAN

~ teringat fairz rustam munaf


senada cinta bersemi di antara kita
~ begitulah bungabunga sakura itu pun luruh
dalam pelukan; kelopak-Nya bergoyang
dalam riuh badai tsunami dan aromanya sangit
berbaur limbah nuklir

masih hangat dalam dekapan dadamu yang menyumbulkan
gunung fujiyama dan kuingat pula saat miyagi digulung ombak
~ persis seperti gelora mencinta di  antara kita
lalu anakanak kita doraemon yang berkantung di perut
tak sanggup memutar balingbaling bambu di kepalanya

kemarilah sayang, kembali kita goyang alunan riak
menjadi ombak ~ membadai dalam gelora mencinta
setelah itu bersama kita bangun mahligai rumah cinta
di hamparan pesisir pantai yang teracuni radiasi nuklir
~ masihkah sempat engkau berpikir
dan merasa kuwatrir? ayo nyanyikan lagi lagu lama
senada cinta bersemi di antara kita...


bengkel puisi swadaya mandiri, maret 2011


Jumat, 18 Maret 2011

Erry Amanda: KETIKA AKU BERTASBIH

ketika aku bertasbih
lumat tubuhku agar menyatu pada ruang bumi dan langit
sebab aku sudah tak bisa berhitung
segenggam saja tanah hasrat
sudah dicukupkan
juga tak perlu nizan
sebab ia bukan tengara keberadaan yang dituntaskan

19 maret 2011 - tangerang

Kamis, 17 Maret 2011

KOLABORASI PUISI "NYANYIAN PENGEMBARA"

karya bersama:
dimas arika mihardja (jambi), kwek lina (taiwan), erni susanty (jakarta), allief zam billah (rembang), said mustafa husin (teluk kuantan riau), muhammad rain (langsa aceh), nella s wulan (bandung), wilu ningrat (tegal), ardi nugroho (sidoarjo), evert maxmillan pangajouw (jakarta), rini intama (tangerang), boedi ismanto (jogjakarta), nabila dewi gayatri (surabaya), jessyca handriyani (bekasi), d. kemalawati (banda aceh), mohamat firmandaru (?), erry amanda (tangerang), enes suryadi (tangerang), husni hamisi (makassar), muhammad nur wibowo (jogjakarta)

/1/
bapa angkasa membentang kain sutera
bercahaya rembulan dan matahari
garisgaris cahaya pelangi
di antara gemintang awan kapas
melepas segala pandang

ibu bumi, bentang sajadah bergambar gunung dan laut
padi menguning di sawah dan kicau burung di dahan pohonan hutan
lalu aliran sungai menuju laut lepas mengayun sampan dan perahu
menuju perjalanan menembus waktu

/2/
namun aku masih berdiri dalam entah
meski anak-anak semesta mengajakku berlari
aku memilih diam terbaring di hamparan rumput
menyatu dengan alam, memuja langit dan menyayangi bumi

diamdiam kubaca sepucuk surat
di lipatan cahaya yang belum sempat kueja
menikmati seulas senyum
tergambar dari bias wajah di kalimat
yang kau titipkan kepada malam

/3/
kau bisikkan mimpimu
sebelum kemarin sempatkan
menuliskan harapan

kau yakinkan
bersama kita bisa
mengukir warna senja

/4/
Aur mengisut, air surut, cahaya jadi sepa
dan dari langit tak ada lagi apa-apa.
Hanya di malam-malam tertentu dewa-dewa menciptakan teks mereka yang panjang
sepanjang ribuan bintang di langit.

/5/
kita tak bisa lari
danau mengepung kita
laut hempas daratan
dengan seketika impian bisa datang juga berlalu

kita susul penantian dengan samadi
dera rakaat malam dan jendela terbuka yang jelaga
di tengah riuh azan subuh
juga pendiangan unggun api rindu
kulihat kau tafakur
ikhlas membaca rahasia mata dara.

/6/
lalu, kepada langit kukatakan
akulah sang pecinta
yang akan menjadikannya berwarna

janji malam kugenggam
menitiskan sunyi
kepada segenap hati yang menanti

mengukir jejakjejak sajak
yang turun bersama embun
kisahkan perjumpaan

/7/
Aku titipkan helai-helai kisah pada helai-helai rambutmu
kini jalinlah menjadi pelangi, lengkungkan di antara perbukitan
seraya menyapukan keindahan pada wajah langit
semak-semak ilalang tumbuh di ruang dadamu
berurat pada luka yang terus memijarkan sejarah
karena perjalanan telah menyepakati pengkhianatan
janji-janji meleleh ke dalam cawan-cawan pertelagahan

Di alur sungai yang keruh masih membekas
kisah dayung-dayung yang patah diantara
derasnya arus-arus yang berpusar. Kenapa
sejarah begitu tega menenggelamkannya seperti batu

Kini bayang-bayang itu terus menggapai mata
Ketika derap kaki-kaki kuda menuju ke utara. Suaranya
terdengar kian reda, lalu lenyap di ujung kelokan telaga,
aku masih ingat ketika itu kau tengah membasuh luka-luka
dari sebuah pergumulan yang kini juga dilupakan sejarah

Adakah kau rasakan cuaca berpusar di pangkal
jantungmu, aku juga begitu, aku sudah tak mampu
lagi menahannya

Cuaca makin memilin-milin ruang jantungku, musim pun berguguran di matamu
Di atas ranting pohon yang meranggas burung-burung bertengger dan berkicau
alam menikmatinya. Kicau burung itu kini hinggap pada helai-helai catatan sumbang
perjalanan sejarah, zaman pun menerimanya

/8/
lalu pada langit kukatakan:
akulah pemandang
penyaksi indahnya hilirmudik angin
mendekap segala yang diingin

/9/
air telah menuba waktu
telah sampai pada cuaca yang mendingini rindu
duduklah bersama semesta kataMu
kulihat mata memuja yang menciptakannya
biru hijau lazuardi dipeluk lupuk diri

kucari Kau di kedalaman danau
melulu air, mata memerih tersaput hempasan ombak pasiran
kucari Kau sepenuh hatiku
menyelami sampan istirah
tapi danau kelewat dalam
waktu tak dapat jabarkan pertemuan
tak dapat menguncurkan terang malam
hanya kedipan dan terumbu mataku menangkap siratan

malam beludru
syal menyemat dingin urat leherku
seperti nafsu yang menelanjangi kesyukuran

lama kuinsyafi tempias air lautMu
lama kubermain percik genang danauMu
terus mencariMu.

/10/
angin tak beringsut senandungkan impian anak manusia
taklah akan mereka pasung imaji hingga meriuh pepohon lukiskan bebunga
buah buah retas memanis
kemasi lapar dahaga
kepada angin beraikan kecintaan sang alam
demikian rebak, demikian pesonai bumi, ibu bumi

/11/
Allah Allah Allah
ya, Allah kulidahkan bahasa jiwa
atas sajadah basah dengan rupa wajah bersalah
setiap saat aku bersijingkat mendekap mesjid
menguntai wirid, merajut tasbih dan tahmid
menjeritkan debudebu yang lekat pada tubuh

Allah Allah Allah
ya, Allah kupahami bahwa sejatinya hidup berasal dari lubang
menuju ke sebuah liang gelap, pekat, dan dingin.
kusadari bahwa di dalam diri ini menganga 9 lubang
lubanglubang itu senantiasa terbuka, terus mengangakan luka
sebab ternyata mulut ini tak pandai melafazkan doa
telinga ini senantiasa dipenuhi angin fitnah dan sumpah serapah
dua mata ini hanya bisa memandang gelimang bendabenda
dan memujanya sebagai berhala
dua lubang hidung ini teramat susah mencium wangi sorga
lubang kemaluan dan lubang pembuangan menyemburkan nafsu
setiap saat kuilihat syahwat tumbuh di jalan dan kelokan
anakanak zaman diasuh angin malam, penuh impian
di bawah jembatan peradaban, anakanak sejarah
tak pernah tercatatat nama dan asalusulnya
di kolong langit makin mewabah aneka penyakit
yang menambah sesak dadaku

Allah Allah Allah
ya Allah aku berdendang menyuarakan tasbih putih
kafan putih melati putih jiwa perih
ya Robbana, aku berlagu dan berguru hanya pada-Mu
kenapa aku dilanda ragu dan cemburu?
denganmu aku memang bisa bergurau
tetapi di hadapan-Mu ya Allah
aku hanya debu diterbangkan angin lalu
debu yang hangus dipanggang Cahaya-Mu.

Allah Allah Allah
ya Allah aku berusaha berlagu hanya pada-Mu
kulidahkan resah waktu lalu kunyanyikan dalam sujudku
kusenandungkan salah-khilafku
lalu kubasuh dengan dingin air wudhu
kupadamkan api benci di hati kupadamkan
kupahamkan api sufi di hati kupahamkan
kusahamkan iman dan amalan kusahamkan
kuqatamkan dan kukuburkan dendam di hati kumakamkan

ya, Robbana, rebana bertalutalu di hatiku yang merindu maghfirahmu
rebana berdentamdentam siang malam
rasa cinta kulidahkan di atas sajadah basah
tapi resah tak terbasuh dan jiwa masih lusuh dan kumuh

Allah Allah Allah
ya Allah aku mengarungi lautan gelisah yang membuncah
sebagai ikan aku megapmegap di daratan
tersuruk di lumut dan bebatuan
terdampar mendekap luka sendirian

Allah Allah Allah
ya Allah kulukai dadaku sendiri dengan lafaz doa
kunyanyikan luka hati di dalam geriap tarian jemari
malam kian kelam namun mulut dan batinku tak bisa diam
o, tikamkan belati Cinta-Mu sedalam iman
remukkan rusuk Adam sebelum bersemayam
kuburkan luka menganga
di bawah rindang daun kamboja

ya Robbana, rebana menggema dalam hatiku
yang rindu Senyum Manis-Mu
apa yang kudamba kini hanya satu, ya Kasihku
ampunilah segala dosa dan salahku
Allahuma ya Robbana kubenahi jasad kucuci hati
kubenahi jihad dan niat kubenahi syariat dan  hakikat
kusempurnakan tarikan nafas tarekat
untuk selalu terikat pada makrifat

Allah Allah Allah
ya, Allah rebana cintaku bertalutalu menghalau pisau risau
dada ini nganga terbuka, berdarah dan bergairah
peluk dan dekaplah aku di kedalaman Cengkeraman-Mu
yang Maha Dalam
Yang Maha Pualam
Yang Tak Pernah Diam

/12/
akulah wilu!
anak bumi yang memusafir padang pasir
yang hampar pada tiap-tiap hati
yang kerontang tanpa nurani

akulah wilu!
anak bumi yang menggenggam tongkat musa
merebut pedang umar
menunggang onta entah suadagar siapa
sembari menyebut-nyebut shalawat Muhammad
sembari meneriak-neriak asma sang Maha

akulah wilu!
anak bumi yang megembara tanpa peta
yang gigih mencari tapakjejak Iqlima, Lubuda, Habil, Qabil
yang seteru pada rumah Hawa pada saat Adam terajam kalamkalam syaitan

/13/
(anak cahaya melahirkan cucucucu yang sama dari waktu ke waktu
mereka mengais kerak bumi menyibak misteri lapisan yang membatu
menjelma jadi butir dan padatan yang kemilau warna warni)
wahai zat penentu segala apa hingga yang entah
smakin kepeluk erat firmanfirmanmu
karena kuperrcaya tanagamulah yang sanggup melukis pelangi di angkasa
dan membentuk permata di perut bumi ini

kubungkus darahku dengan berlembar firmanmu
saat kau terbangkan aku menuju puncak kenikmatan
juga saat kau ikat aku di batang ceruk derita

kurasakan milyaran nadiku berdenyut
sesuai notasi darimu


/14/
Kubenam rasa pada bulan memudar pucat
kuhirup malam bertabur aroma mawar
di beranda tua yang lapuk bambunya diterjang zaman
tempat aku menulis syair syair masa depan
bulan masih tetap sama dalam kabut tipis seperti kemarin
saat aku kembali merangkai puisi cinta untuk seseorang di pulau sebrang

sendiri aku di pelabuhan sepi
ditemani bayang semu memancar di laut tenang
kangenku membuncah akan mawar di pulau seberang
mendesak aku mengayuh sampan melewati gelora samudra
demi sekedar menatap mata sayumu

Yessika
di hitamnya malam masih ada cahaya tak pernah padam di hatiku
membentuk satu dunia yang dihuni para pujangga langit
saat mentari terbit dan tenggelam kita akan sama-sama menikmatinya
saat bintang membetuk namamu dilangit aku bisa melihatnya
sudah kukelilingi mimpi untuk memecahkan misterinya
tapi belum kutemu jua jawabnya

ingin kucari bayangmu di jingga senja
akan kukayuh sampan yang rapuh sekalipun
meyusuri pulau demi pulau karena aku anak kembara
anak pulau yang resah
anak pulau sang pemimpi
anak pulau pujangga

di pelabuhan sepi ini
ingin kuhirup kembali aroma mawarmu
ingin kutulis syair cinta hingga matahari terbenam
untukmu, hanya untukmu…

/15/
akulah pengembara yang lelah dan ingin pulang
saat kapal berlayar meninggalkan tangisan
hingga sedu terbawa kesiur angin
hingga pucukpucuk nyiur

/16/
namun aku pun pengembara yang harus kembali ke lautan
sebab hidup dan kehidupan adalah tantangan
yang mesti kuhadapi dan kutaklukan
akulah: aku sang pemenang!

/17/
bulan menyulap malam
menggelar teduh cahaya
dan menyanyikan hijau musim
mengembang ilalang mencandai ruh rindu

langit mengarah tempat tuju
meraup seluruh isi firman
hujah qudus mengalir geletarkan darahku

peta perjalanan menetes dari segenap pusaran
menggerus nokhtah bakal muasal
melumat pembuangan paling tersembunyi
bersetia menjagai kepulangan

kutengadahkan! alif mewujud sajakku

/18/
Di sini, di belantara sunyi
Aku masih sembunyi dari angin yang mengantar desau lantun sajakmu
Yang mengombaki hati

Gelombang pasang bergulung-gemulung bersama rindu
Mencari ke mana arah pesisir baginya mendesis
Atau angkuh karang pemecah

/19/

Sebelum jarum waktu menghapus jejak
Beribu gerimis menghunjam tipis dada
Wajah-wajah memamah basah dari akar yang mengalah
berbondong berbaris dalam gerak lugu
bertanya hujan mengapa garang tak berendam di liang arang

/20/
Hidup mimbarku
Tubuh Panggungku
Udara, tanah, lautan
Langkah kakiku
Tanah Air
Tanah Air
Mata hatiku

Dunia
Dunia
Apalah arti sejengkal Eropa, Afrika
apalah arti secuil Asia
Indonesia !
Indonesia !
Kembara Merah, kembara putih
kerinduanku, padamu Ibu...

/21/
dari deretan panjang puisi-puisi semesta
ada satu semesta yang sembunyi di balik tirai pergolakan panjang
mendiami singgasana yang tak seorang pun tak hendak berijin menyaksikannya

Jika saja ada tangis
itu pun sudah mengkristal dengan dirinya
hidup dan kehidupannya sendiri.

Jagad yang menaunginya serasa tiap saat memantulkan cahaya
panggilan juga suara-suara seperti menunggu. Setiap saat burung malam
dan mimpi2 yang dilukiskan di dinding-dinding perjalanannya.
Sungai yang senantiasa mengalirkan seluruh airmatanya - dan ia begitu lelah
menghitung waktu lewat jari-jarinya. Aku pun hanya bisa diam
sediam-diamnya, sebab bagiku, entah Nenekku atau aku yang lebih dulu
ada pada antrian terdepan.

Saya tahu betul - sajak yang ditulisnya
sesungguhnya bukan untuk disanjung, sebab baginya, hanya itu yang bisa ia tulis.
Hanya dengan tulisan itu ia bisa bicara jujur
aku hanya mampu meniupkan semangat, tak lebih dari itu, sebab cinta pun
baginya telah luruh di seluruh darah dan dagingnya juga nyawanya.

/22/
Jika ada arah yang menuntunku ke jauhan tanpa batas, engkaulah itu: wanitaku.
Nyanyian angin adalah penjuru bagi musim.
Di bawah lengkung langit sore gerimis itu, ada tarian Bidadari, mengajakku pergi.
Begitulah, kau adalah pemandu perjalanan panjangku.
Bersama seribu Malaikat, seribu Peri, nyanyian doa-doa
dan wangi setanggi, kutembus batas waktu, di balik samar langit, malam itu.

/23/
untuk kakikaki yang meretas
di batasbatas cakrawala
perjumpaan masih kisah kesekian
tempat degupdegup jantung
jatuh berdenting
pelanpelan
di cermin telaga

satusatu dari kita
pergi menepi
ke ujung itu
sebagai lanskap bayang
yang bergoyang
tersapu angin musim badai

ada yang sendiri
ada yang menghela langkah

kita yang masih tertinggal
memanggul badai di selaksa
telaga mata mata kita,
ada simpony menanti waktu
menjemput ada dan tiada
datang lalu menali diri
sebuah kisah
senyum Tuhan dijemari telunjuk
kita yang kian menua
kian meluruh

/24/
Wahai Para Pengembara Jalan Kesunyian
Yang berjalan tertatih tatih berpegang tongkat
Berusaha menggaris garis lurus untuk berjalan
Di lorong lorong kota peradaban tua yang mulai gelap
Karena lampu lampu di hati para penghuninya satu persatu mulai padam
Bulan yang makin mendekat bukankah sebenarnya sudah memberi tanda
Bersiap siap meninggalkan era peradaban kota tua yang makin menjijikkan
Kendaraan bumi tumpangan diri sebagai pejalan angkasa
Makin lelah karena terpaksa berputar makin cepat
Seolah berlomba dengan bulan mempercepat adanya perubahan
Perubahan yang ada tapi tak terlihat tak terasakan
Kecuali oleh mereka yang mata hatinya tak padam
Walau berjuta kemilau cahaya palsu duniawi yang semu gemerlap menyilaukan
Tak diperlukan lagi kata dan bahasa saat nanti sang empunya mengadakan perubahan perbaikan
Karena kata dan bahasa telah ikut lebur menjelma menjadi Cahaya
Karena kata dan bahasa telah lebur menjadi pengetahuan, pemahaman dan rasa mereka

/25/
oh, sepi yang terpintal dari jemari keserbaan
burungburung semakin jauh menuju pusaran hiba
meski tak ada wujud sempurna
lukisan yang kau beri warna
biarkan saja menjadi gending purba
dan kita pun baka.

 /26/
inilah jalan yang mesti ditelisik, sayang
sebuah jalan berliku menuju Rumahmu
rumah kehangatan yang terjanjikan :
ranjang keabadian

sepanjang badan jalan pohon pohon hayat tumbuh
tak pernah mengeluhkan cumbuan angin dan tamparan badai
dicengkeramnya tanah tanah amanah dengan akar tunjang
dan akar serabut selalu menyebut nama nama di balik kabut

dahan dan ranting itu menuding langit menjeritkan doa dan damba
daun daun yang rimbun menyediakan diri bagi embun berayun
pasrah menanti matahari menyempurnakan kilau-Nya

/27/
telah kupanggul hatiiku menemu panggilan menaramu
kubasuh debudebu waktu dengan air wudhlu
di atas sajadah basah airmata aku terbang menembus langit Cinta
o, hatiku jatuh di sepanjang perjalanan
bergantungan sebagai embun diujung daun

dari waktu ke waktu kupungut remah cintaku
kubasuh dan kuasuh dalam gendongan rindu
memasuki Rumahmu

jalan berliku menujumu
ku terus berjalan menapaki jejak dan isyarat langit
o, berikan rambu menuju satu pintu
menuju Dekap paling lindap

/28/
biar susah sungguh mengingat Kau penuh seluruh
chairil kecil pernah sampai di depan sebuah pintu dan beritikaf:
"di pintumu aku mengetuk, aku tak bisa berpaling"
dan raja penyair pujangga baru menyeru penuh haru:
"kasihmu sunyi, menunggu seorang diri"
lalu abdul hadi pun berfatwa: "kita begitu dekat serupa kain dengan kapas"
kini kupetik kapas dari pohon randu penuh rindu dan kupintal menjadi kain
yang bertuliskan kaligrafi Cinta

aku menuju pulang ke Rumah
merajut sujud di sudut hati paling sunyi
merenda kalam sepanjang malam
mengucap dan mengecup rasa sayang
pagi hingga petang

marhaban, ya ramadhan
aku datang di depan gapura Pintu
menghapus jejak kepurapuraan
menata makna doa dengan lidah ibadah
tak mengenal lelah: pasrah!

/29/
saat penciptaan pertama ialah Cinta
sebuah kata yang terus saja melahirkan puisi
di sepanjang aliran dan denyut nadi
pada layar putih tak letih kulahirkan kata:
mencintaimu

guru tak pernah ragu menanam kata Cinta
memupuknya dengan makna dan doa semesta
sepanjang waktu guru tak ragu berjalan menuju satu tujuan
memanen kata Cinta

jalan berliku menujumu, memujaMu
sepanjang tualang kafilah tak lelah memungut kata dan mengeja makna Cinta
lalu mengabadikannya di kedalaman dada membara
lalu mengendapkannya di dasar suara hati yang menyanyikan qasidah
sembari tak lelah menyanyikan barzanji puja-puji bagi cahaya
: mencinta!


/30/
di atas kuda bersurai kita pacu kata melintas kota
aspal jalan yang mulai leleh tak lelah meriwayatkan tangantangan kekuasaan
kalian selalu mengingatkan, "hati-hati ada lubang di sepanjang jalan berliku"
aku lalu melucu "hei, lihat, ada lubang berjalan menawarkan kenikmatan!"

engkau rapikan jilbabmu saat angin kencang menderu
kulihat ada binar di cerlang matamu saat terlihat kubah mesjid
dan menara yang menyangga bintang dan rembulan
"kita basuh debu di wajah kita?"

kita melangkah menyisir jalan berliku dan berdebu
angin menerbangkan kapuk randu
dan engkau menjelma kupukupu bersayap rindu
" hayo, kita lacak jejak di semak kata dan doa!"
kita lantas menemu jalan berliku :
menujuMu.

 /31/
perjalanan ini terasa sangat panjang dan berliku
saat angin merasuk badan kalian sibuk mengerok punggung
mengoleskan minyak gosok di perut yang kembung
saat musik mulai meliuk kalian bergegas masuk ke dalam ruang karaoke
menyanyikan lagu duniawi sembari sempoyongan lantaran menenggak minuman
saat gema adzan masuk ke kamar tidur kalian mengetatkan pelukan
terus saja bergumul dengan kesiasiaan
saat pintu ada yang mengetuk kalian mengutuk
mengusir tamu yang meminta sedekah

wajah kabut menyungkup dan menutup pandangan
aku saksikan wajahwajah kecemasan berjalan menembus kelam
memikul beban dosa purba yang tak tertanggungkan
merajut perih luka menganga
tertatihtatih
letih
merintih

jemari tak letih meniti tasbih
menghitung perih luka
sendirian aku berjalan di bawah gerimis
sungguh, jalan berliku menujuMu

/32/
bila cinta tak sampai
kukirim doa melintas gelap malam
melacak jejak sajak di jalan berliku menuju satu pintu :
hatimu

bila cinta tak sampai
jangan merasa ada yang terbadai
sebab sepatah kata menyediakan muara :
makna

bila cinta tak sampai
pada tirai waktu terbubuh indah nama :
Kekasih!


/33/
Pergilah cinta
Kulepas engkau dengan doa
Agar kau bahagia dengan satu yang lain
Kulepas kau hingga kenangan pun pergi
Biar semua terseret waktu dan angin membawanya lari.

aku pun terbang mengepakkan sayapsayap cinta
menembus cakrawala seberangi samodera makna ketulusan
telah kupilih satu jalan menuju cinta seperti Dia yang Mahakasih
telah kudekap kenangan di atas roda sepeda, senyum, dan cahaya mata

kini aku telah sampai di depan gapura
duduk diaduk genang kenangan mencinta
di atas sajadah basah telapak tangan menengadah:
"bukalah pintu maafmu".

/34/
sampai di muka mesjid pintu pintu dan jendela berderit
hati pun menjeritkan seruan penuh kerinduan :
kekasih, aku datang memenuhi panggilan
merajut benang menjadi kain
mengasuh kasih sepanjang biji tasbih

memasuki serambi terasa ada tangan menggamit langkah ibadah
di atas sajadah tergelar perjalanan terasa menanjak
kaki terasa tidak berpijak, jejak perjalanan kian menanjak
kedua telapak tumbuh sayap
doa melesat menembus langit

kekasih, kasihanilah aku yang mendebu
kisahkan padaku bagaimana semestinya memelihara hati
menjaga lidah dari bisikan bisikan busuk menyesatkan
menjaga telinga dari suara suara hasutan bersahutan
menjaga mata dari panorama benda benda keduniawian


/35/
sepanjang jalan kurisalahkan kisah kasih dari ruang maya ke raung benda
dengus nafas pergumulan siang malam serupa nafsu kuda
berlari di atas padang sahara mengepulkan debu debu waktu
jalan masih panjang dan berliku, bergelombang
tak ada tempat berteduh bagi jiwa lepuh
tak ada ricik air bagi perasaan fakir

di atas atap sirap kau pasang parabola
kauserap gemerlap dunia benda benda
warna warni aksesori
membeli mimpi

sudah saat
berobat
tobat!

/36/
ke mana kumengembara
ke pekatnya lembah atau ke dalam dangkalan jiwa
nur lurus itu lalu menuntunku pada sebuah pintu dengan dua daun
belum bersiap, masih harus kusalin dulu segala yang kotor ini
hingga kuhadap dengan wajah berseri

/37/
Ya, Allah jadilah aku gelandangan di hadapan rumah-Mu, mendebu dan membeku
Ya, Allah jika memang ada salah laku dan luka kata-kataku
 tunjukkanlah di dalam kamus hidupku kosa kata: cinta, setia, sayang semuanya
Ya, Allah, aku masih mau hidup memelihara kata, merawat makna
 memotret geriap luka dan mengabadikan cinta yang terasa sia-sia

Kata Rendra: "kere-kere jangan mengemis lagi"
Teriak Chairil Anwar: "sudah tercacar pula koreng, darah, dan nanah di muka"
Kata Toto Sudarto Bachtiar: "gadis kecil berkaleng kecil senyummu terlampau kekal untuk kenal dosa
[terlampau biru untuk mengenal ini semua], kalau kau mati gadis kecil berkaleng kecil
 bulan di atas sana tiada lagi punya tanda dan kotaku, ah, kataku...

aku semakin malu ya Allah selalu menyeru dan merayu-Mu setiap waktu
Ya, Allah, betapapun yang duduk lungkrah dan menadah itu dia adalah aku: ibu kata
hati paling jernih dan perih

/38/
ini kisah angsa bertelur emas
yang berenang sepanjang aliran batanghari
yang berdendang antara riak dan ombak zaman
dari utsnami di ngeri turki hingga tsunami di dalam diri

inilah tanggo rajo, tempat empat bangsawan jambi menyangga negeri
adalah keraton-kedipan-perban- raja empat puluh
di kedalaman batin penghulu kubu
pindah dari minangkabau

sampan dan perahu layar berkibar
bendera dan pusaka saling incar
tahta. mahkota kata
mahligai hati tersulam dalam seloka
dipajang di dinding sejarah darah

jalan sutera mengangkut garam
emas berkarat di atas koin
lada dan pala di antara kebun para
dan sorban sultan di tengah pertikaian
dan traktat perjanjian yang sarat kepentingan

di aliran batanghari dan anak-anak sungainya
pendulang dan penambang berebut asin garam
manis gula,sementara rempah-rempah sejarah
jadi remah yang dibakar gelora berkuasa

angsa bertelur emas mengusung simbolisasi
mitos dan legenda. pemuja tahta sebagai berhala
terus berupaya menanamkan pengaruh
menyuburkan nafsu berkuasa
dari masa ke masa berebut mahkota bertahta emas
dari hulu ke hilir orang-orang mengalir
dan tersihir oleh kilau permata

/39/
sajak dan syairku, ya Rabb, hendaklah lahir dan mengalir
dari Rahman dan Rahim Iradatmu. mencair dari alam pikir
semata mendamba Kasih dan Sayang, tak lelah merisalahkan kisah lisan
tak leleh menuju Satu pintu. ya Rabb selamatkan perhelatan dan niatan
menyusun kekuatan menelusuri ruas jemari, luas hati.
detik menitik larut dalam gamitan menit dan tenggelam dalam detak jam
yang tersusun menjadi nafas cintaku

kususun batu rindu dan remah kangenku selalu nyala
kususu airmata doa dan harap-cemasku selalu mengemuka
kupadu katakata dan makna cintaku berbunga
kusedu sedan tangisku atas debudebu waktu menyebut 99 Asmamu

dengan jemari letih kuketuk pintu ampunan:
ya, Robbana, rebana bertalutalu di hati merindu
marhaban ya ramadhan, puas dan puasakan diri
marhaban ya kesadaran, puas dan puasakan pikiran
marhaban ya kesabaran, puas dan puasakan hati
marhaban ya kesuburan, puas dan puasakan nafsu duniawi
marhaban ya kenikmatan, puas dan puasakan syahwat badani
marhaban ya seribu bulan, puas dan puasakan senggama raga
marhaban ya makna berdekapan

/40/
setiap saat kaupandangi pintu seakan ada yang memanggul rindu
debudebu hanyut di selokan dan merembes dalam tanah:
dada doa buncah dan basah

engkau masih termangu memandangi pintu waktu
sementara jam terus bertaktik tak tik bersama rintik hujan
menitik juga bening kerinduan ke ruang lengang di dadamu
sementara jendela telah mengirim sinyal yang lemah:
susunlah lagi jemarimu

seolah ada yang kautunggu
di pintu waktu hujan mengekalkan bayang
kenangan kian menua!

/41/
kepak sayap burung merak menyibak awan berarak
langit biru serupa kain tetoron terentang di luas cakrawala
tak ada aroma kemenyan atau dupa
udara disemprot deodoran dan aroma bunga
semerbak di atas tanah makam

bulubulu sayap dan ekormu melayang di udara
dan air sungai menjadi tinta yang mengalirkan cinta
juru potret lalu mengabadikannya dalam rupa maha sempurna
dan penyair berebut kata kata di udara bebas

kini di atas tanah yang masih basah ini
kubasuh telapak tangan dan kuasuh kata sebagai doa
menjelang ramadhan, kubersihkan daundaun dan rumput
lalu lidah tak lelah menyebut dan menyambut Ampunannya:
kesadaran adalah matahari
kesabaran adalah bumi
keberanian menjadi cakrawala
dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata
*)

Aku mendengar suara
Jerit hewan yang terluka
Ada orang memanah rembulan
Ada burung terjatuh dari sarangnya
Orang-orang harus dibangunkan
Kesaksian harus diberikan
Agar kehidupan bisa terjaga
**)

notes: *) dan **)  petikan puisi almarhum Rendra