Senin, 28 Februari 2011

DI BALIK KELAMBU

satu malam saat kaubuka kelambu di antara tidur
dan jaga; barangkali engkau bersua kelam mengenakan jaket hitam
topi dan senapan pemburu; bayangkan, engkau tak kuasa berpaling
sementara senapan itu membidik dadamu yang terbuka
apakah engkau akan meluka? apakah engkau masih akan tetap melupa?

satu malam yang remang engkau merapa kelam
menemu sesesok bayang di balik kelambu mengajakmu kencan
semalaman; apakah engkau telah bersiap dan bersuci?
bayang itu telentang di atas ranjang
apakah tubuhmu akan menggelinjang?

di balik kelambu tidur jagamu
selalu berjaga segala bayang mengikuti langkah kaki
alur pikiranmu dan diamdiam mencatatnya dalam agenda harian
dan catatan itu kelak akan menjadi saksi
semua akan berbicara sendiri!



bengkel puisi swadaya mandiri, awal maret 2011

A POEM FOR MY VIRGIN SWEETIE

even you come from my womb, sweetie
really I don’t feel to have your future
when you ask to paint your all wall into black

did I push you to have a white color? No
the choice of colors is yours
anyhow, good for you to know many colors and numbers
for your future

you have been released from my womb,
back to the mighty hand to nurture ;
i was sad when you were in quiet seclusion

in favor of the dark color; I try to understand when you said
“In the darkness I saw the light, Mom”

don’t you know my sweetie ? in glooming prison
criminal spreading all over ; growing up controlled by
the hand of the darkness ;
do not imprison your soul in sullen
their seduction never get lonely, you have to go on walking
grab the shining future


SAJAK BAGI ANAK PERAWANKU

meski engkau lahir dari rahimku, anakku
sungguh aku tak merasa memiliki masa depanmu
saat kauminta mengecat hitam segala dinding kamarmu
apakah aku memaksakan warna putih? tidak
pilihan warna ada pada dirimu
tetapi pantas kaumengerti banyak warna dan angka
bagi masa depanmu

engkau telah lepas dari rahimku, kembali dalam asuhan
tangan kekuasaan; aku gelisah saat engkau banyak diam
menyukai warna legam; namun aku mengerti saat kaukatakan
"di dalam legam aku melihat cahaya, ibu"

tahukah wahai anakku? di dalam penjara yang remang
kejahatan bersimaharaja lela; tumbuh dan diasuh oleh tangan
kegelapan; jangan engkau penjara jiwamu dalam kelam
bujukrayunya tak pernah kesepian dan engkau harus tetap berjalan
meraih masa depan gemerlapan

translate by Nugroho Suksmanto

PESTA PUISI

kau mengajakku kencan dalam pesta puisi di negeri serinbu seloka
apakah aku mesti mengenakan sepatu kaca dan gaun berenda?
engkau berbisik di telingaku, "ah, kakimu terlampau bagus untuk semua jenis sepatu
dan kulitmu terlampau mulus mengenakan gaun apapun"

sudah kuduga, engkau akan menghujankan kata-kata yang dipungut dari langit
seakan aku akan mabuk jika kaukatakan ada kejora di mataku
bunga tebu tumbuh di sela bibirku
engkau selalu saja menyodorkan madu di tangan kanan
dan racun di tangan kiri

aku tak harus memilih antara madu atau racun
mau tetapi nasib terbantun
tak mau namun hidup terasa diayun
kupastikan, aku takkan mabuk dipesta puisi
sebab puisi yang harus memungut kata dari angkasa
tak harus menyiram kata wangi bunga
puisi adalah diri dan pribadi
pergilah ke pesta yang penuh rayuan dan sanjung puji
aku memilih berdiri di ambang batas ada
dan tiada


akhir februari, 2011

Jumat, 25 Februari 2011

CLEANING THE DUST

; a free translation and appreciation for Dimas Arika Mihardja 

self-purifying! That’s what you teach me for five times I rub the dust
that sticks at all over the body. Water gurgling, bailer responding
gently draining glitter and gurgling His affection

kind of early the drizzle come
I wipe out pieces of dust in the heart
in cautious I touch this heart
to be alert and awaked
clean and crystal clear

and the drizzle drop
clinking on the house of prayers roof
seep and then sneak to skin pores
wash up walls of the heartT
that shivering




MEMBERSIHKAN DEBU
by Dimas Arika Mihardja on Wednesday, February 16, 2011 at 6:17am

bersuci! begitulah sehari lima kali engkau ajari aku mengusap debu
yang lengket di seluruh tubuh. gericik air,gayung bersambut
dengan lembut mengucurkan kilau dan gericik kasih-Nya

sepagi ini gerimis jatuh
kuusap serpihan debu di hati
hatihati, kusayangi hati ini
untuk siaga dan terjaga
bersih dan bening

gerimis pun jatuh
berdenting di atap rumah ibadah
meresap lalu menyusup ke pori
membasuh dindingdinding hati
yang merinding


16 februari 2011
Translate by Nugroho Suksmanto

Kamis, 24 Februari 2011

INONG BALLE, SUI LAN, YESSIKA, DAN NYI GONDOSULI

[ sebuah kisah imajiner di negeri kata-kata]


INONG BALEE bergegas ke ruang ganti pakaian. Ia kenakan jilbab warna kesayangannya. Ia selipkan rencong di pinggangnya lalu bergegas menemui sahabat-sahabatnya di ujung jalan. Di ujung jalan itu NYI GONDOSULI menggeraikan rambut peraknya. Matanya seperti biasa memancarkan kejora. Persis di hadapannya berdiri SUI LAN dan YESSIKA. Mereka bersiap menuju medan laga, menyebarkan virus cinta.

"Jauh tualang kutempuh, kaki melepuh, pikiran kumuh, ke manakah pelabuhan tempat berlabuh?" SUI LAN mulai membuka bibirnya yang mungil dan menyenandungkan nafas perjalanan di medan perjuangan mendapatkan cinta sejati.  NYI GONDOSOLI tersenyum dikulum. Pemikirannya selalu ranum dan dengan mudah tercium dari beberapa tombak jaraknya. YESSIKA, seperti biasa, diam merenung sedikit murung.

INONG BALEE yang tergolong paling muda lalu tak mau ketinggalan melontarkan gagasannya, " menatap mulut lorong ini  aku dengar lolong  menyisir lekukliku rindu yang rindang; memasuki ruang gelap semalaman aku meraba kelam, mabuk di celah bukit dan lembah yang basah lalu terasa ada desah pasrah; aku  pun terbang di sela stalagtit dan stalakgit menebar berjuta magnit melangitkan cinta rindu, menggigilkan rasa girang yang rindang; mulai kupahami kini  hidup dari lorong ke lorong dari rahim  ke rahim-Nya."

NYI GONDOSULI yang mengaku sebagai anaknya SUTO KLUTUK lalu mengucapkan mantra-mantra saktinya sembari merentangkan kedua tangannya; " honocoroko hidupku, dotosowolo tekadku, podojoyonyo arahku, mogobotongo matiku". Angin lalu berkesiur memporandakan rambut NYI GONDOSULI yang berwarna perak. YESSIKA, SUI LAN, dan INONG BALEE lalu tergerak mengikuti langkah demi langkah di belakang NYI GONDUSULI. Mereka berjalan menuju lembah, melewati sawah-sawah, menyusuri aliran sungai hingga sampai ke muara du mulut samodera. Di pesisir pantai mereka lalu melukis warna cinta di butir-butir pasir. Mereka amat menikmati saat lukisan cinta itu dijilat lidah ombak hingga pelan terhapus.

Mereka berempat hakikatnya ialah empat mata angin: Barat, Selatan, Timur, dan Utara. INONG BALEE datang dari Barat, YESSIKA berasal dari Selatan, NYI GONDOSULI dari arah Utra, dan SUI LAN berasal dari Timur. Empat kiblat ini tak terpisahkan dari ekosistem, saling melengkapi dan saling memerlukan satu diantara yang lainnya. Begitu menyebut INONG BALLE, maka akan terikut NYI GONDOSULI, SUI LAN, dan YESSIKA. Begitu, dan seterusnya. Satu halyang membuat dan menjadikan kekuatan mereka ialah cinta. Cintalah yang mengasuh dan membesarkan mereka.

SUI LAN kembali menemukan kata-kata "Pada Sebuah Taman", kemudian dinyanyikan serupa nyayian seribu burung, "Biarkan katupan mata menyatakan gairah bunga yang menyimpan rahasia kekasih. Betapa jeritan kecil dari tisp kuntum,ada tebaran wangi. Dalambisikan angin burung-burung pada mabuk meluruhkan senja. Luruhlah sepi sampai tetes terakhir kerinduanku. Bila sudah tidak jingga lagi dedaunan dan bayang cinta pun fana, aku masih di sini sebab antara kita tak pernah ada sangsi."

Lalu NYI GONDOSULI kembali melantunkan kata-kata yang memiliki kekuatan mantra, "Sejuta bunga, sejuta aroma, selalu setia pada kata: Cinta. April menyimpan gigil, ritualan memanggil sang resi,sang wiku,sang pertapa andika yang berdiri di gapura terimalah tembang jiwa tuk warih gemericik daya menepis sungkawa, sudah sun dengar semuanya: gurit langit tembang dendang doa mantera tabir kabur jadi terang, teduh damai segala rimba gunung dan padang."

Sembari memandang riak dan ombak lautan yang bergelora, INONG BALLE pun turut menjadi saksi " ketika kita terhuyung-huyung dalam goncangan panjang, ketika kita bersidekap rapat dengan bumki,  ketika kita tak pernah tahu tanah rekah, air laut surut berdepa-depa, ketika ia menjulurkan lidahnya ke angkasa, ikan-ikan menggelepar,pasir-pasir mengering, rumput laut tak sembunyi di balik karang, lalu sebagian dari kita berhamburan ke tengah pasir, silau oleh gemerlap sisik ikan, bagai kunang-kunang yang mabuk cahaya,seakan bara siap mengharumkannya, perut sejengkal sudah sehasta, berbongkah-bongkah daging merah, gerah menari di lidahnya..."

YESSIKA berjalan menuju karang lalu dari mulutnya meloncat baris-baris syair ini:" lalu sepi menyileti dan nyeri ngucap kalimat tobat; hati kembali suci terkafani; sepikat cinta, sepekat noda dosa kembali memisteri : lorong di hidung menafaskan hidup; lolong di sepanjang lorong jalan dan gang mengejang mengajak pulang ke asal mula lorong: a   l   a   n   g   k   a   h           p   a   n   j   a   n   g   lolong di lorong ini saat senyap kembali mengerjap dan menyergap!

EMPAT KIBLAT, empat mata angin telah merapat di pesisir pantai. Riak dan ombak terus bergerak. Ombak berkembang menjadi gelombang dan mereka tak henti menyanyikan kasih sayang sepanjang tualang.

SAJAK LOLONG SEPANJANG LORONG

menatap mulut lorong ini  aku dengar lolong
        menyisir lekukliku rindu yang rindang
              masuk di ruang gelap semalaman aku meraba kelam
                           mabuk di celah bukit dan lembah yang basah
                       ada desah pasrah menggelinjang di ranjang
aku  pun terbang di sela stalagtit dan stalakgit menebar berjuta magnit
        melangitkan cinta rindu
               menggigilkan rasa girang yang rindang
                            yang merinding
mulai kupahami :
        hidup dari lorong ke lorong
dari rahim  ke rahim-Nya

lalu sepi menyileti
dan nyeri ngucap kalimat tobat
hati kembali suci terkafani
sepikat cinta, sepekat noda dosa
kembali memisteri : lorong di hidung
menafaskan hidup;
           lolong di sepanjang lorong
jalan dan gang mengejang
mengajak pulang
ke asal mula lorong:
a   l   a   n   g   k   a   h           p   a   n   j   a   n   g
lolong di lorong ini saat senyap kembali mengerjap
dan menyergap!


bengkel puisi swadaya mandiri jambi, 2010

BUSUR CINTA YESSIKA

[sebuah sajak yang mungkin saja mengingatkan "pacar senja" joko pinurbo]


Kekasih Senja duduk di beranda. Pandang matanya mengarah ke barat. Matahari berkilau dengan emasnya. Ia seakan mendengar kepak sayap dan derap kaki kuda, seseorang pengembara membawa gendewa berpanah asmara. Kekasih Senja masih bersetia dengan keyakinan: Ia akan datang pada satu masa membawa tanda cinta. Begitulah, Kekasih Senja selalu memanjatkan doa dan pengharapannya, membahasakan rindu dan penantiannya dengan sebongkah rasa yang meruah.

"Aku datang, Cinta!" dengan jelas ia mendengar kerisik angin yang menggesek daun-daun waru di belakang rumahnya. Daun-daun waru itu, yang semula penuh dengan debu, bergoyang-goyang ke kiri dan ke kanan seakan melafazkan dzikir. Rimbun daun waru itu lalu menghijau oleh desau dan belaian angin. Angin lalu berbisik dengan kerisiknya yang khas, "Aku membawa warta, masa yang kalian tunggu sedegap rindu telah melesat meuju ke mari. Ia menunggang kuda putih dan di pungungnya tergendong gendewa berbusur cinta."

"Begitukah?"

Kekasih Senja lalu berdiri dengan gairah. Dadanya terasa sesak oleh harap dan keinginan berdekapan. Matahari telah tenggelam di ufuk keteduhan. Kekasih Senja memasuki ruang pribadinya untuk bersegera melakukan ritual penyambutan. Ia bergegas mandi keramas. Air menderas. Membasuh seluruh tubuh Kekasih Senja. Dari bibir mungilnya lalu terdengar senandung " Aku masih, seperti dahulu.Menunggumu sampai akhir hidupku..." Byur. Byur. Suara air menyiram tubuhnya yang jelita.

Pelan tetapi pasti Kekasih Senja membentangkan sajadah. Telah ia kenakan kelengkapan ritual pemujaan untuk menyambut pengendara kuda bersayap yang menggendong gendewa berbusur cinta. Pelan Kekasih Senja membuka pintu di dadanya. Ia buka pula segala yang bernama jendela. Lalu dengan desah pasrah meluncurlah kidung dan senandung puja-puji yang meluncur dari beranda dadanya. Kekasih Senja seperti sedia kala, bersiap menyambut kehadiran demi kehadiran Sang Pujaan.


Sanggar Kreasi, 24 Februari 2011

Rabu, 23 Februari 2011

SONATA SENJA DI BATAS KATA

alun syair lagu itu telah meliuk dan masuk
ke kamar pengantin yang penuh dengan riasan bunga
dan aroma; katakata lalu saling taut, menyebut sepatah kata "cinta"
dan "setia"--pandang mataNya menjadi saksi romantika
saat bibirbibir tergetar melafazkan qasidah persembahan

kekasih, dengan apakah kusandingkan cintaku?
dengan kicau murai pagi hari saat mentari menyebar kehangatan?
dengan denting resital piano dan orkestra yang menggemakan symphoni?
aku lebih memilih jadi embun diujung daun yang bening
seperti engkau juga telah memilih;
takletih mengurai kabut di mata kekasih

kini, di ambang sore
sama kita eja warna senja
di batas kata: bersetia menagih makna.


sanggar kreasi, 2011

Minggu, 20 Februari 2011

PADA SUATU HARI, SUI LAN DAN YESSIKA MELEPAS KERINDUAN DI ANTARA KAPAL BERLABUH



Di gigir pantai landai Sui Lan duduk. Wajahnya tertunduk. Terbaca sebuah kecamuk di dalam dadanya yang gemuruh. Yessika duduk di sebelahnya merenda senja. Bunga kata-kata teronce sepanjang sore. Yessika meminta Sui Lan membahasakan perasaannya. Sui Lan, pelan membacakan puisi kerinduan yang penuh genang kenangan mencinta, puisi itu tentu saja gubahan Arsyad Indradi, kekasihnya, yang kutahu puisi itu termuat dalam buku "Nyanyian Seribu Burung" (Kelompok Studi Sastra Banjarbaru, 2006) :

Pada Suaatu Hari

Berjalanlah ia bersama syairnya
Menuju  lembah dan perbukitan
Dengan suatu harapan dan kenangan
Ohai merapatlah cintaku yang berderai

Di suatu senja yang kekanakakanakan
Jatuhlah hatinya menahan empasan pandang
Daundaun yang gugur dari dahan yang kering
Dihisap panasnya hari

Di antara ketiduran semuanya
Wajah yang penuh terkumpul makna
Ditiupnya seruling sajaknya
Bagai kapal hendak merapat ke dermaga

Ohai pulanglah anakanak hilang
Pulanglah dengan segenap cinta
Agar kulihat sinar rembulan
Karena kita satu jiwa
Karena kita leluhur bangsa

Banjarmasin, 1971

Yessika terpana menyimak gelegak rasa dalam sajak. Ia manangkap kerinduan yang dalam. Cinta yang mengaroma. Senja kian berwarna. Yessika dan Sui Lan saling pandang. Keduanya lalu melihat kapal-kapal merapat di pelabuhan, di dermaga cinta. “Sui Lan, “ bisik Yessika pelan seakan sebuah kelembutan yang menyelimuti dan memberi kehangatan.  “Aku tahu, engkau telah jauh berjalan bersama syairmu menuju lembah dan mendaki  perbukitan dengan satu harapan dan kenangan. Aku bisa merasakan betapa ceria cintamu saat itu.”

Sui Lan duduk. Diam. Kenangan demi kenangan mengambang di bening mata keharuan. Jemari tangan Yessika lalu menyisir helai demi helai rambut Sui Lan yang berjuntai di dadanya yang berbunga. “Apa yang membuatmu diam, Sui Lan?” bisik Yessika dengan alunan suara seperti desah angin samudera. “Yessika, “ jawab Sui Lan pelan seolah suaranya penuh getar keharuan, lalu mengisahkan kenangannya bersama si dia (Arsyad Indradi) “Di suatu senja yang kekanakkanakan jatuhlah hatinya menahan empasan pandang, daundaun yang gugur dari dahan  yang kering dihisap panasnya hari.”

Sui Lan kian merunduk. Hatinya terasa diaduk-aduk oleh  semacam kecamuk. Lalu dengan desah yang basah ia melanjutkan kisahnya “Di antara ketiduran semuanya, wajah yang penuh terkumpul makna,  ditiupkannya seruling sajaknya bagai kapal hendak merapat ke dermaga.”

Yessika tercekat lidahnya, tergetar dadanya. Sebuah keharuan menyusup  bersama ayunan kenangan Sui Lan yang mengisahkan kisah perjumpaannya dengan lelaki idamannya, Arsyad Indradi. Bisik Yessika di telinga Sui Lan, “ Lantas, apa sebenarnya yang membuat hujan  menderas dari retina matamu?”  Suilan diam. Ia mengatur kekuatan untuk mengungkapkan sebuah kenangan bersama lelaki idamannya. Jawab Sui Lan pelan “Ohai pulanglah anakanak hilang, pulanglah dengan segenap cinta agar kulihat sinar rembulan karena kita satu jiwa,karena kita leluhur bangsa”.

Sui Lan menangis, langit menumpahkan gerimis.  Yessika terpana sekan tak percaya mendengar sebuah kisah-kasih yang begitu tragis-mengiris. Yessika  pelan berdiri di atas karang. Lalu dengan lantang ia membacakan sebuah puisi lawas karya Arsyad Indradi, si penyair Gila dari Banjarbaru. Sebuah puisi yang ditulis tahun 1972  luar biasa menyumbulkan alampikir transendental-filosofis :

Antara Kapal Berlabuh

jangan ada sangsi ketika puput penghabisan
pertanda senja akan membawa kita
ke ombak yang paling jauh
muara tak lagi perbatasan bertolaknya
sebuah kapal yang sarat dengan riwayat
yang aksarakan pada sebuah perjalanan
dan burungburung laut melepaskan
kepaknya ke karangkarang ketika
kelam menyempurnakan malam
adalaah masasilam yang kita sauhkan
pada alir usia kita sebab
langit tak lagi dapat menyimpan
pandangan mata bila kita akan
menghitung nasib antara kapal
berlabuh dengan pelabuhan
di mana kita menambatkan keyakinan
maka layar telah kita kembangkan
sebab laut adalah sebuah jalaan panjang
yang mesti kita tempuh
dan kita takperlu lagi berpaling

Banjarmasin, 1972

Sui Lan terdiam. Yessika bungkam. Keduanya saling berpelukan dalam keabadian cinta. Langit pesta warna. Laut bergelora. Cinta bergema sepanjang masa.

Sabtu, 19 Februari 2011

SAJAK DAM NAMPANG DI KOMPAS.COM DAN EVOLITERA

DEMI MASA, YESSIKA MENEGURMU

kita telah membaca lembar awal diary yessika
demi masa, yessika memberi sinyal tentang makna senyum pada daun
dan gerak pendulum. yessika menegurmu ketika podium dan mimbar meneriakkan katakata
yang tak layak kalian simak. jalan penuh batu dan debu.
hati ditumbuhi benalu waktu.

demi masa, yessika menulis sajak dengan tinta cinta
apakah yang kalian raih dengan kesiasiaan?
demi masa, kembalilah belajar mengeja huruf dan menyusunnya menjadi doa
menyusun rimbun kata menjadi hutan makna
menyusun jari merapat ke hati

desmi masa, hentikan perjalanan tanpa rambu
kembalilah pada isak ibumu. ciumilah di telapak kakinya
sebab kalian hanyalah debu di kakiku
menangislah seperti abu di akhir pembakaran


Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010

MEMBACA YESSIKA

saat membaca kalam. semuanya melindap.
hanya isyarat meriwayatkan ayatayat.
kesenyapan benarbenar terasa menyergap, dan hati
tersayatsayat. gelap. aku tergagap. lalu cahaya
gemerlap memercikkan bunga api cintamu, yessika

di dada hanya degup yang berdegap
suara guruh yang gaduh, suarasuara
mengaduh. aku bersimpuh
melepuh

yessika, cahayakan hati. cahayakan lagi
cahayakan api berwarna pelangi,
cahayakan. senyap menyergap
semuanya kembali melindap!


Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010

INI DAGING, YESSIKA ...
: mas wilu ningrat

ini sejarah daging, mas wilu. padahal yessika tak mau daging
ia tak mengunyah roti, tak suka sanjungpuji. tapi ini riwayat daging
yang berjalan di bibir pantai, menyisir desir dan menafsir arah angin
semilir. di tepi laut yang hidup sering bertaut dua daging yang berdoa
semoga abadi. padahal kekal dan abadi hanyalah milik yessika,
ya ia yang esa.

di pantai, riak mencipta ombak. ombak mendesak gelombang
dan gelombang mempermainkan lidah yang menjilati dagingdaging
kering. dagingdaging yang tak berkening dan berhati. tak. daging
yang berjalan hanya menyisir desir pasir, melukis wajah hati yang digilas
riak yang mengombak.

ini sejarah daging, mas wilu. memandangnya, sungguh aku merasa ngilu
dan ingin membasuh dagingdaging itu dengan air wudlu, bening danau
kicau murai atau burung gereja pagi hingga petang. ini daging lelaki dan wanita
yang berjalan menyisir pantai landai,
melupa yessika!


Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010

MEMINANGMU, YESSIKA

saat februari memanen bunga cinta, aku datang meminangmu yessika.
kubingkiskan padamu sebuah hati yang merekahkan tahiyat awal
di antara jeda, sebelum pada akhirnya kita berciuman
di luas sajadah cinta. terimalah mahar cintaku, yessika
sebuah puisi yang merisalahkan rubaiyat matahati

yessi, di ranjang ini sama kita urai misteri matahari
dan rembulan. jangan gerhanakan lagi api cemburu
yang selalu memburu, membakar gelisah rasa

di beranda ini, yessi
kita untai dan urai misteri jarak
dalam nafas menggelegak!


Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010

PESAN YESSIKA PADA HALAMAN MUKA

pada halaman muka, setelah bismillahirrohmanirrohim
yessika menuliskan pesan singkat serupa ayat:
lihatlah pohonpohon hayat yang tak lelah meriwayatkan
kerinduan mendalam. akar-nya menghunjam tanah, tanah
menyangga batang yang bercabang. reranting kering
akan berganti tunas yang baru. bacalah, di daundaun yang merindang
tergurat urat yang mendedahkan hidup yang kian kuyup

pada halaman muka juga, tertulis kaligrafi yang indah:
Iqro' Bismirobbikal ladzii Kholaq, bacalah dengan nama tuhanmu
pokokpokok kayu yang menyangga hidupmu. bacalah
hanya semata kehendak-nya. pohon hayat selalu saja
menyenandungkan pujapuji bersama angin yang lesat
bersama kicau murai dan burung gereja

pada halaman muka, di setiap pinggirnya terhias
pigura berdinding kaca. bercerminlah pada bening danau
membasuh wajah resah waktu dan tinggalah di kedalaman
dekapku!

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010

DALAM DIARIKU, HANYA ADA YESSIKA

bukalah halaman pertama, nama yessika tersenyum
menyapamu dengan hangat. seraut wajah
yang menyemburatkan gairah, mawar merekahkan aura-nya
yessika selalu hadir melengkapi harihari bersama cahaya mentari
ia tak lelah meskipun bersamanya terasa meleleh. jessika

tiap malam memainkan melodi dan menyenandungkan
gita sejuta rahasia. yessika selalu menebar pesona
penuh getar menawarkan magma makna. ia tak selesai diurai
selalu memisteri dan menyuntikkan energi api. yessika

menuliskan pesan singkat, tapi selamanya selalu kuingat
: "berjalanlah hanya pada arah yang benar"
dan aku lantas tergetar. senar jiwaku serupa riak yang jadi ombak
menjelma gelombang yang tak pernah surut. yessika
ialah sihir yang menjelma dzikir!


Bengkel Puisi Swadaya mandiri, Jambi 2010
EKSTASE, MALAM HUJAN

gerimiskan lagi pada bumi yang tengadah. pasrah
menyerahkan diri lewat gelinjang jemari malam hari. aku sakau
dipukau senyum-mu, sekarat saat meriwayatkan rubaiyat
pada tahiyat akhir: dzikir. dzikir

ngalir dan mencairkan hujan di mata. ricik-nya
membasuh debu di hati merindu. rintikkan lagi, gelitikkan
suara hujan menderas dalam hati. o, aku merasa jadi sungai
yang menghanyutkan kabut maut. aku menjadi ramarama berputar
mengelilingi rawa. o, gericikkan lagi irama hujan itu. aku

ingin cair dan mengalir
pada bidang dadamu yang telanjang
yang menggenang. aku hanya nyaman dan tenang
di keluasan pandang mata hujan berkilauan.

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010

RITUS MATAHARI


setiap pagi, matahari mandi di telaga warna. ia mengambang
di atas riak dan ombak lalu menyelam bersama kabut yang diamdiam
tak mau susut. ia kadang membasuh wajahnya dengan embun
yang memercik dari jemari lentik. ia kadang tertegun di celah lembah
dan gununggunung. tiap pagi, matahari menyulam cahaya dan menghibahkannya
pada daun, menyempurnakan menguapnya embun

menjelang siang, matahari masih telanjang. ia bersahabat dengan angin
yang membisikkan pesan petualang: pulanglah ke balik kelam! angin
dan matahari menari dan saling tertarik pada larik sajak tentang bunga
dan gulagula. di atas langit cerlang, matahari memanggang insaninsan
malang, petualang tak kenal pulang. terus melenggang

senja menjemput matahari bersama doa. iringan kabut dengan ringan
turun di telaga, hinggap di dahandahan, dan berjalin-berkelindan
memanggil rembulan. upacara selesai, matahari kembali menuju peraduan
mengenakan jubah hitam!


Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010

RITUS SENJA
: mantra bunga


senja bersuci
mengunci diri sendiri

bulan berenang di ranjang,
terlentang bersama bintang

hujan di matamu,
menari sakau membiru

hutan di dadamu,
gemuruh gelorakan rindu memburu

kidung bunga mengembang
kicau burung melagu merdu

tujuh riitus senja
delapan muara sutra

kata cinta terbata, lantunkan doa
sehati setia

senja bersuci diri
ritual mengunci fantasi


Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi, 2010



LUKISAN SENJA


langit putih ialah kanvas, seperti terkelupas. aku mencium
nafas pada awan yang isyaratkan hujan di matamu, kekasih
kukisahkan padamu tentang pendar warna pelangi, melengkung
di alis mata. ya, telah kita goreskan erang tertahan
di puncak malam penuh bintang.

sajak ini membisikkan suara kedalaman hati yang digoreskan
oleh kuas pada langitlangit cintaku. ya, hanya langitlah yang menyimpan
dan menyiapkan legitnya bercinta. kanvas langit hatiku penuh goresan kaligrafi
berbingkai mahligai.

pada cuaca pancaroba, tak lelah kulukis senyum mentari
yang selalu hadir dengan kesetiaan purba. bangkit. bangkitlah
dari rasa sakit encok, pegel linu, dan nyeri hari. di senjakala
kita purnamakan segenap rasa cinta sepenuh cahaya
di matamu, kekasih!


Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010

BUKET BUNGA BAGI MEI HUA

kota melahirkan kata dan taman bunga. kita duduk di taman ini
merenda tangga nada, menguntai jemari melodi, menangkap puisi
yang terbang mengepakkan sayap malaikat. kita tangkap kelebat-nya
dalam rahasia wangi bunga dan mengabadikannya dalam gita
yang menggila. angin datang menggelombang

di rambutmu yang basah. burungburung kecil bersiul dan menyanyikan
serenada merah maroon, bunga merah, hati bergairah. kita simak kerisik
daun yang merimbun. rumput sujud melaratkan harap yang lindap. tak ada awan
udara terasa nyaman. gericik air memercikkan kedamaian. kehangatan

sengatan matahari bersipongggang menyanyikan balada sepanjang
jalan mendaki bukit. ya, bukit berbunga mengarumkan nirwana. ada juga
lembah dan desah kepasrahan dahan flamboyan. bougenvil menggigilkan
kerinduan tak terlunaskan. kita ngungun di hangat unggun sajak:
sama terisak!


Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010

SETELAH HURUHARA, BUNGA ITU CINTAKU

setelah huruhara, bunga itu cintaku tetap menebarkan
wangi-nya. kita hirup lembut aura warna jingga yang singgah
saat senja. di beranda ini tumbuh menyemak semerbak bunga
merah merekah indah. biru merindu cumbu. kuning mengerling jemari
kasih sayang. putih membagi kasih. bunga itu

tumbuh juga di taman hati. mengorak kelopak
gelegak sajak. helaihelai belaian jemari tangantangan kasih
tak letih meneteskan embun pada hijau daun. bunga itu

kasihku, mengabadikan rasa terdalam
di kedalaman genggam


Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010




KENDURI AIRMATA

ini airmata bunda. silakan diminum saat dahaga, o, anak lanang
yang melupa pulang. dahagamu menggenangi jalan
dan tumpah di senayan. ini airmata terus saja mengalir tapi tak mampu menyetir dan menyihir
pola pikirmu. seperti spiral, pikiranmu berputarputar di sekitar pusar. engkau
seperti pasar yang menjajakan makanan instan.

ini airmata bunda. perasan segala perasaan duka. o, anak perawan
yang merenda masa depan. kenapa engkau selalu saja berbincang tentang lelaki
penungang kuda yang akan menjemputmu ke istana? istana dihuni oleh orangorang
yang suka bergoyang. di istana mereka merayakan resepsi dan kenduri, purapura
bertanggung jawab kasus century.

ini airmata bunda. santaplah
kala kalian kehausan!


Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010



RANJANG IBU
: balai sidang senayan


ranjang ibu semakin memanjang dan mengejang, anak pertama, nurani,
sibuk dengan teori bagaimana menghilangkan nyeri sendi dan sprei. anak
kedua, orasi, sibuk menebar janji di atas panjipanji partai yang merantai tangan ibu. anak
ketiga, operasi, setiap hari hanya memikirkan kencan di hotel mewah
untuk rapat kemudian merapat. anak keempat, koperasi, ngenes dan hampir mati
lantaran tak kuasa menyediakan pangan. anak kelima, pengelana, entah
merambah hutan atau lembah yang mana. ibu menjadi kejang-kejang

dan encoknya kambuh. anak-anak ibu sungguh tidak tahu cara terbaik
memanjakannya atau sekadar memanjatkan doa. wajah ibu adalah ranjang kusam
dan berantakan lantaran anak-anaknya bermain petak umpet di atasnya. anakanak ibu lasak
dan suka ribut, sehingga sprei itu semakin kusut. o, bapa angkasa

ibu pertiwi,
tragedi apalagi yang akan terjadi?


Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010
(balai sidang senayan adalah ranjang ibu)




SUARA JALANAN DAN OPERA BINATANG

suara knalpot dan debu jalanan berlabuh di paruparu. kota, memanen
aneka kata yang berebut bicara. kata benda berdesak dengan kata kerja
saling banting dengan kata sifat. kulihat merah putih berkibar letih di tiang jemuran
dan aku merekamnya dengan handycam kusam. suara guruh di luar gedung
tersambung suara gemuruh di dalam gedung melengkung. suara berdengung

bagai lebah beterbangan mengitari merah putih yang letih di tiang jemuran.
aku kembali merekam otototot yang keluar dari lengan terkepal. saling dorong
menyorongkan gagasan, menyerongkan pesan. mereka bergerak saling mendesakkan
kepentingan. aku melihat kertaskertas suara yang dulu diberikan oleh rakyat
beterbangan di udara hampa. seekor garuda

melintas dan hinggap di dahan kamboja. lalu kelelawar, burung pemangsa
serigala, atau domba berlarian di lorong, kuda berganti warna. rumput mengering di kening
ilalang terus bergoyang melupa waktu sembahyang. merah putih tak letih
berkibar. garuda mengangkasa. penguasa melupa janjinya. rakyat
turun ke jalan menjadi debu.


Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010

PUISI DAM DI KOMPAS.COM

DEKAP AKU KEKASIHKU

dekap aku dan jangan lepaskan
hirukpikuk jalanan menjajakan daging dalam deru nafas
terengah. aku tak mau daging yang hanya akan membusuk
dan uap baunya sampai ke api pembakaran

dekap aku dan jangan lepaskan
cericit binatang malam dan angin jahanam hanya menikam
kemaluan. aku tak mau malu yang terus memburu
tiap waktu. aku tak mau hanya menjajakan cumbu rayu
mengajak masuk di dalam semaksemak waktu

dekaplah aku dan jangan lepaskan
di pusat kota, di penat kata aku ingin rebah
mendesahkan namamu. merenda makna ada
dan tiada tanpa ada yang menggoda
dekaplah aku sepenuh dekap
dan jangan lepaskan pelukan sehangat genggam


Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010


MUNAJAT SAYAP

sayap yang memikat tumbuhlah
di tubuhku

lewat kepaknya ingin kunikmati sayatan
dan pahatan isyarat langit

sayap, bawalah aku mengangkasa
mengagumi singgasananya


Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010



KALIGRAFI, HARI INI

seluas hati, hari ini aku tenggelamkan diri
di kedalaman kaligrafi. memahat huruf menjadi kata
sepenuh hayat. aku ingin merasakan kehanyutan
dalam buaian ayatayat. ratap yang menyayat
sepenuh pikat

kupahat hurufhuruf, kulukis tasawuf pada dinding hati
yang selalu merinding. aku hanyalah debu pada figura
yang kaupajang di dinding waktu. sebagai debu
aku ingin membasuh luka ditusuk sembilu
sembilanpuluhsembilan namamu

kaligrafi selalu memisteri. engkau berlari
setiap kali ingin kumengerti. engkau selalu hadir
mengusik tidur-jagaku pada malammalam padam lampu
bagaimana bisa aku membaca isyarat yang kau pahat
pada kelebat bayangmu?


Bengkel Puisi Swadaya mandiri, Jambi 2010

KETIKA JARUM JAM LELEH


ketika jarum jam leleh dan lelah berdetak
tubuh lilin pun mengabu dalam kembaramu:
engkaulah kembaranku

ketika jarum jam leleh dan lelah berdetak
saat adalah segala sayat yang memahat tubuh:
engkaulah tempat berlabuh

saat tubuh lilin mengabu, ketika sayatan
dan pahatan merajah tubuh:
engkaukah rajaku?

jarum leleh, jam lelah berdetak
lilin mencair kembali ke asal sebagai alir
aku dan engkau terseret pusarannya
kembali ke pusara
makna


Bengkel Puisi Swadaya mandiri, Jambi 2010

SERENADA CINTA
: spesial untukmu dan untuk-mu

senja tibatiba berkabut, kusebut namamu
dalam hening ranting kering. jemari waktu menuding
dikening. sajadah menghitam basah
dibasuh resah yang buncah. tapi aku mengerti
engkau menguji betapa warna sebuah hati

malam tiba mencengkam. engkau selalu memisteri
dalam isyarat kelam kelambu tidur-jagaku. angin risik
dan aku bergegas menangkap isyarat
dan bisik lembutnya. aku menangkap
dan menangkup dingin air. membasuh resah
di kedalaman sembah

pagi mendadak datang lagi. aku baru saja duduk
diaduk kecamuk. seperti nyamuk, aku pun terbang
menuju pulang untuk menemuimu. engkau telah siap
dan berucap: hisaplah aku sepenuh dekap

waktu berganti wahyu. engkau taburkan aneka tanda
di hamparan semesta. aku merayap memunguti tanda-tanda
kebesaranmu. pada jejak yang sesak oleh isak
kutemukan diriku terus menggapai puncak
cintamu!


Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010



PADA JENDELA BASAH


pada jendela basah, kulukis resah wajah
waktu. asap mengepul dari cerobong mulut
dan jemari maut mengintai usai hujan rinai. jarum jam
tak lelah bertiktok pada jantungmu
yang melemah

pada jendela basah, kaukirim pesan singkat
yang sangat jelas maknanya. kaca mengembun
dan wajahmu meranum. tirai melambai
dan terasa ada yang tergadai

pada jendela basah, entah tangan siapa
menjulur mengulurkan kerinduan
yang gemetar. serupa bendera putih
tangan itu tak letih berkibar
mengabarkan gelisah kamar!


Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010



SEMIOTIKA RENCONG DAN KERIS
(deknong, harun, abdul razak, nadine, korban tsunami, korban gempa jogja)


rencong, bentuknya memang bengkong
tapi sama sekali tak ada makna serong. di dalam sarung keemasan
ia merenung. suatu saat matanya berkilat
dan siap menghancurkan siapa saja yang kufur
dan takabur. sesiapa akan dikubur apabila suka menabur benih
permusuhan

keris, bentuknya meliuk
tapi sama sekali tak ada makna pamer. pamornya
sembunyi di dalam sarung dan diselipkan di punggung
keris terbuat dari besi pilihan dan ditempa dengan rapal doa
adapun maknanya, ia akan selalu siaga dan terjaga

rencong dan keris memiliki jenis dan nama yang sama
ia berhias keindahan, kekuatan, dan keyakinan
ia tak pernah berkeliaran, kecuali musuh
menantang berhadapan

kusarungkan rencong
kusarangkan keris
di museum keabadian

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010

MALAM GERIMIS
(fakhrizal eka)


malam gerimis di taman budaya. sepotong
rembulan ditusuk ilalang. di rusuk adam
berkelindan harapan: berkobarlah api
bakar kebekuan!


Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010



KABUT DI WAJAHMU, KEKASIH
(persembahan untukmu)

kabut yang menggayut di wajahmu, kekasih
maujud serpihan doa. di atas sajadah basah
kaubasuh butiran embun
yang netes pada pipi waktu

kabut itu kaurajut hingga malam larut. butiran
pesan yang kaukirim pada-nya mungkin nyangkut
di awan lalu menderas sebagai hujan
yang menyejukkan hatimu

kabut di wajahmu, kekasih
perlahan menguap lalu lenyap
bersama harap nan lindap kau kembali
menata dan menatap kelebat waktu

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010

BULAN DAN BINTANG
(mahmud jauhari ali dan deknong kemalawati)

warisan melayu, alam terkembang jadi guru:
kita membaca rumput bergoyang
sepanjang siang. ilalang di belakang rumah
tak lelah berdesah: ina sholati wa nusuki...

lalu mawar melati tumbuh di hati

cericit burung adalah kumandang adzan
bersahutan. jauh melayang menembus awan
tak pernah jatuh gemanya, kecuali terus ngalir
di urat nadi.

rasakan degup-nya

bulan dan bintang
terlukis di dinding jantung

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010



MUSIM BUNGA
(arsyad indradi)

abah, bungabunga merekah
hati penuh lukisan kaligrafi. tak ada janji.
hanya pujapuji tengah wengi hingga subuh
meluruhkan bening embun yang hening

abah, musim bunga silih berganti
kita ronce harumnya menjadi manikmanik tasbih
dan jemari tiada henti meniti kilau-nya

abah, aneka bunga
percik pesona
mekar di sajadah cinta!


Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010

ZIKIR DAUN DAN BUNGA
(balasan rama prabu)

tahukah?
daun dan bunga memiliki wajah
selalu tengadah mendedahkan risalah
dibalutan resah

tahukah?
daundaun merekah bersama bunga doa
angin mengasuhnya dalam dekapan
menjadikannya embun bergantung di daundaun
sepenuh senyum

tahukah?
daun dan bunga acap luruh terbantun
namun rekahnya menembus tahun
dan aroma nirwana terhirup dengan lembut

tangkai daun tangkai bunga
menyangga putik doa
menjadikannya buah

santaplah!


Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010

FEBRUARI, HUJAN ITU

februari, hujan itu mengucur dari sembab matamu
deras ngalir memasuki selokan dan kelokan
hujan itu hanyalah ujian
seperti juga banjir dan anyir darah
semua menuju akhir

februari, hujan itu terasa menikam
dadamu. biarkan perasan perasaanmu njelma perahu
mengusung sampahsampah yang menyesak
di batinmu. biarkan atau bakarlah sampah itu

februari, hujan itu adalah anugerah
ia akan memberimu kesejukan lembah
merekahlah!


Bengel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010

MANISKU
(Faradina & Ula)

kucing dalam darah mengeong dengan resah
menjilatjilat bibir malam. ia ingin membuka rahasia
cinta dengan berjuta doa.

kucing dalam aortaku berontak. lasak. lari
menabrak dan masuk ke dalam gelap. mataku berkilau
serupa cahaya lampu yang berkelip
dalam dadamu.

seperti katakata ia melata, merayap, berkelebat
jalin-menjalin menjadi frasa
untai-menguntai menjadi wacana
terangkai jadi permata yang kukalungkan pada lehermu:
kekasih!

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010



PERSONIFIKASI WAJAH

seperti inikah wajahmu:
lanskap dedaunan dan bebungaan
menawarkan manis senyuman di kesepian mencekam
menggariskan guratan jejak menuju taman
menghillang dikelam malam?

seperti inikah wajahmu:
anyaman batubatu rindu pada ibu
menebar aroma aura, jauh dari aurat
hanya memikirkan akhirat?

seperti inikah wajahmu:
tikus bermain dan beranakpinak di dalam selokan
sembunyi dari incaran kucing
berparas manis tetapi banyak maunya dan selalu
mencari celah lengah?

inikah wajah-mu?


Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010

SEMIOTIKA BURUNG

pada reranting berserak, anakanakku
bernyanyi serak. cuapcuap crit cit cericitnya
menggapai langit

sebagai garuda, aku selalu siap
membentangkan sayap
melindungi sesiapa yang kan menyergap

aku bukanlah pajangan
dalam genggaman kucengkeram
keyakinan!


Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010



KETIKA BUKU TERBUKA

ketika buku terbuka, aku membaca wajah ibu
bersandar pada pendar pelangi di matamu
melesatkan sayapsayap doa ke angkasa

ketika buku terbuka, aku membaca cuaca
di raut wajahmu. tersenyumlah pada tandatanda
hujan. petir akan mengantar banjir di pipi kalian
dan di urat nadi ngalir dzikir yang menggerimiskan
perjalanan kembali

ketika buku terbuka, aku membaca
kelebat bayangmu menuju bukitbukit berkabut
seperti tangan maut yang merajut kalender
bertanggalan sesuai jadwal keberangkatan
demi kepulangan

ketika buku terbuka, kubaca arah
kompas penunjuk jalan
dan kerinduan yang rindang

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Kampus Oranye Jambi 2010

WAJAH IBU

pepohon rindang daun adalah engkau, ibu
tak lelah mengairi dan mengalirkan embun di musim kemarau
engkaulah, wajah yang bukan sekedar wajah
semata tengadah pada bulan merah jambu
sebisa pasrah pada buaian rindu

telaga warna adalah wajahmu, ibu
merenda kenangan menyulam riak
dan ombak kasih sayang. engkau ngalir
dalam nadi menjadi energi mewarnai pelangi

dangau persinggahan adalah juga wajahmu, ibu
sebuah tikar kesabaran tergelar
di altar persembahan

ibu ialah laut biru
di luas hatiku

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010

PANORAMA SENJA
(buat sahabat batinku)

alam diamdiam menyediakan kearifan
sebelum matahari merendah, warna pelangi menari
mewarnai sanubari. angin mengendap
mengusap daundaun jati

bukit terkadang tersaput kabut
jalan pendakian terjal dan berbatu
sungai tak lelah menggericikkan bulir air
menuju ke muara atau ke laut
tempat segala cinta bertaut

saat matahari merendah
kabut bersujud di atas tanah basah
embun meneteskan kilaunya pada musim pancaroba
mendesahkan risalah dan berjuta kisah

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010

PILKADA DAN PIL KOPLO
(untuk Rumah Puisi Jumardi Poetra)

"pilkada, pemilihan kepala daerah", katamu
senja itu. asap mengepul di cerobong mulutmulut berdebu
tas plastik dan selembar uang limapuluhribuan berhamburan
mencari alamat rakyat. suarasuara di panggung terbuka hanya berjanji
untuk diingkari. suara mereka adalah lagiu dangdut
bergoyang di tengah lapang dengan loudspeaker
memecahkan kesunyian
meresahkan binatang paraan

"pil koplo, adalah obat mujarab ketika rakyat muntah", jelasmu
di pasarpasar sembari berteriak "hayo siapa jauh mendekat.
siapa dekat merapat. siapa rapat kian terdekap"
di mata penjual obat, semuanya nomor satu
pil koplo yang dioplos dari berbagai macam obat
hanyalah racun yang membuat kepala puyeng

pilkada dan pil koplo, keduanya racun!


Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010


DI DADA, WAKTU

di dada, waktu tumbuh menyemak
dan jejak sajak lupa kau simak. ia
meriwayatkan semesta, merekam
aneka kejadian.

di dada, waktu terus berbiak
pohon hayat mendedahkan aneka isyarat
ayatayat menyayat
atau keluh yang pekat

di dada, waktu terus berlalu
jemari tanganku tak lelah menangkap kelebatmu
mengabadikannya di kedalaman mimpimimpi indahmu


Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010

SERAUT WAJAH

seraut wajah, tengadah
ke langit. matanya ialah kejora
bibirnya rekah delima
suaranya desah dari lembah

seraut wajah, merunduk ke bumi
hatinya ialah sungai, perasaannya gelora samodera
suara batinnya semerbak melati
damba dan pintanya: sorga

seraut wajah, diabadikan sejarah
diabdikan pada cinta merekah
seraut wajah, pasrah
sajadah menghitam basah

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010



ISTRIKU

istriku, nurani
tak pernah bisa tidur
ia berjaga di kasur di dapur di sumur
sepanjang umur

istriku, nurani
suka memasak kenangan
merebus kehangatan
menanak hati

istriku, nurani
hadir di muka kelir
sampai cerita berakhir


Benegkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010

SAJAK PERAHU

perahu perahan jiwaku melaju menujumu, kekasih
berselancar di kedalaman debar kerinduan

kecipak air membasuh jiwa resah
basah pula harap nan lindap

pada tiang layar angin gemetar
engkau kian samar dan aku serupa camar
yang menggelepar


Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010



LANSKAP, WAJAH GADISKU

gadisku bersandar pada kelebat waktu
dipandangnya rupa bianglala, sepenuh dunia maya
pada matanya berpijar kejora dan tarian ramarama
selalu menyebut sembilanpuluhsembilan nama

pada garisgaris tegas petak umpet
yang sembunyikan kelincahan masa kanak
ia pandangi ambang senja
rumah bertangga peangi

gadisku
alam perawan
penuh keindahan
(hanya lukisan di angan)

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010

METAMORFOSA (2)

keluar goa pertapa, kupukupu
hinggap pada dahan waktu
melekatkan telur pada bilur
mengasuh kepompong pada musimmusim
pancaroba

keluar rumah ibadah, kau kembali
menjelma serigala berbulu rayu
tiap waktu sembunyikan taring di balik dinding
peradaban

keluar ruang sidang, kau kembali
menjulurkan lidahlidah penuh getah
menyulap gelisah yang melulu membuncah
kau memilih menjadi sederet kata
memenuhi dunia maya

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010



DI PUNGGUNG BUKIT

duduk di atas undakan peradaban
bukitbukit tersaput kabut
hanya punggungmu bergaris
meriwayatkan gerimis

panorama alam benda direnda jadi wacana
dipuja oleh siapa saja
kecuali pejalan sunyi, sendiri
menganyam puisi dan membacanya di batas kata
yang menggigilkan makna

di punggung bukit kurakit kesaksian
sepenuh erang
kesakitan


Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010

BINATANG

kami tak pernah pelihara kucing
tapi tiap hari kucing tetangga berak dan kencing
sembarangan!

mereka beranakpinak, berbiak
lalu berteriak di atas genteng
lari dan sembunyi untuk berteriak lagi
tikustiikus tak tersentuh
cicakcicak di dinding masih meracau
parau

dasar anjing
lha ngising di atas piring
kan bikin pusing?

terkadang datang tak diundang
musang, biawak, kodok, ayam kampung
ulahnya bikin canggung!

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010




METAMORFOSIS
kubawa buku, tapi bukan wahyu
wajah waktu terlukis sebagai grafiti
pada dinding imaji

serupa burung, aku merenung
orangorang terkurung sarung, terbelit jarit
menjeritkan nganga luka

kau berjanji dan bernyanyi, seperti iklan televisi
penuh gerak dan gelak
tapi tak berpihak. sesiapa merasa diinjakinjak
perih kehidupan makin tampak
menggelegak di dada, luka

"dada, selamat tinggal" ujarmu berlalu
meniti kabelkabel yang ruwet
membahasakan peradaban

kubaca buku, nganga luka itu
juga tetesan darah, meriwayatkan genangan kenangan
gunung kecemasan
gaung kekecewaan

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010



BERANDA BANDARA DAN KIBARAN BENDERA


bandara, beranda
tak sekadar kata. pada dinding kaca
kita membaca arah ke angkasa

di beranda bandara, budaya
semestinya tak seperti buaya. merayu sesiapa
dengan deras airmata
kepalsuan semata

beranda senja
membuka tirai waktu yang berkibar seperti bendera
matahari dan matahati, keduanya
hidup dalam degup

bersandar di beranda budaya
tak perlu bercadar. kesabaran
ialah sayapsayap doa mengangkasa
seperti pesawat yang melesat
di kedalaman hitungan jam

Bengkel Puisi Swadaaya Mandiri, Jambi 2010



CINTA, SELAMANYA

cinta, selamanya
hanya bisa disebut
dibalut kabut

cinta, selamanya
berbunga nirwana
tapi juga bertangkai neraka

cinta, selamanya
seperti udara memberi nafas
gelora yang mengombak di dada

cinta, selamanya
hanya memberi dan tak meminta
sesiapa yang memberi akan menikmati
sesiapa yang hanya mendamba akan menderita

cinta, selamanya
terasa menyiksa
lukanya seluas samudera
nikmatinya menembus angkasa

cinta, selamanya
tak pernah bertanya
tak pernah tersesat di rimba gelap

cinta, selamanya
menyelam di kedalaman rasa
cinta


Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010



ISTRIKU MENANAM BELATI (BUKAN MELATI)


istriku menanam belati ketika pesawat televisi nyala sepanjang hari
tak bosan menjajakan iklan dengan selingan berita derita bangsa
yang mengancam dengan otototot rambo
yang menyesatkan anakanak dengan cerita cinta
atau drakula

istriku menanam belati ketika orangorang kesetanan
memuja jin dan dukun yang bau kemenyan
matanya berkilat melihat mantra penggoda iman

istriku menanam belati
dan matanya berkilat saat anggota parlemen
suka ngunyah permen karet membicarakan dirinya sendiri
beretorika membela rakyat tanpa etika dan tatakrama
padahal kursi juga yang diincarnya

istriku menanam belati
ketika timbangan keadilan sungguh tak seimbang
berkilat matanya melihat kesenjangan
dan aneka permainan sulapan

istriku menanam belati
ia tak bisa nyanyi "sudah bebas negeri kita"
tapi sangat memahami mewahnya penjara
dan liarnya para penjarah

istriku, ialah nurani
yang setiap saat siap menyayat sesiapa saja
matanya berkilau ketika kata tak seiring perbuatan

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010



DI BERANDA KATA, SENJA

di beranda kata, senja
berwarna. kita sama duduk
diaduk kecamuk. menafsirkan gurindam
yang kaukirim semalam

di beranda kata, senja
penuh aroma. kita berdua
tersihir berjuta kata, bunyibunyi
misteri makna mantra

di beranda kata, senja
bertabur makna. kita saling tatap
di kedalaman kata yang melindap. kata
dan makna dan kekuatan bersilancar
di kedalaman debar

di beranda kata, senja
sepenuh doa. tahta
wanita dan cinta mengombak
di dada
sepenuh cerita!

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010

MEMBACA WAJAH CINTA


kueja segala wajah kata sifat lewat tabiat
kueja segala wajah kata benda lewat berhala
kueja segala wajah kata kerja lewat karya

sajadah menghitam basah
gairah resah membuncah

kukenali wajah isyarat
pada ayatayat



Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010



MENYUNTING WAKTU

kau bertanya, untuk apa kalian menungguku?
aku akan hadir dan mengalir
menyihir mereka yang terlena
aku ada bersama saat orangorang merasa tersayat
kemudian melayat langit dengan ratap tangis gerimis
meratap dengan doa penuh damba
melaratkan harap dan cemas yang netes sepanjang ruang

aku akan datang melenggang
menyapu sesiapa yang ragu
menggilas sesiapa yang malas
tapi jangan cemas, aku juga mengantarkanmu meraih emas
aku datang hanya untuk kembali pulang
sekali melenggang dan bergoyang

demi masa
orangorang bertandang
dan berkubang
atau sekadar berkabung
meratapi atau mensyukuri kelebatku!


Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010

SIMPHONI HARI VALENTINE


sepasang kupukupu,kau dan aku
hadir dan mengalir di tengah shimponi musimmusim semi
dewi amor menatap lanskap keindahan alam
angin mengendap senyap
hinggap pada sayapsayap

kau dan aku melaratkan harap dalam nada-nada memikat

“ajari aku satu makna, cinta”

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010



MEMPELAI SENJA
: Arsyad Indradi dan Diha

selendang pelangi
jampijampi setanggi
isyarat langit yang wingit
mewarna di senja bianglala

kalian duduk di beranda
diaduk semacam gelora
langit pesta warna
dan berjuta bunga semerbakan aroma

aku melihat kejora
bingkai katakata

aku melawat langit
dan meminta penuh damba:
beri aku satu kata, setia
taburi aku satu kata, cinta
lumuri aku satu karya penuh magma makna!

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010

JANUARI 2010

kalender bertanggalan
tiap detik menitiklah darah kepedihan

waktu melesat
menyayat pohonpohon hayat

grafiti dan kaligrafi
mengabadikan puisi

orangorang lahir
mengalir di kedalaman pemaknaan

sampan dan perahu melaju di hati
mengusung keranda duka

jalan penuh pendakian dan tikungan
di puncak tanjakan januari terkapar
sendirian

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi Akhir Januari 2010

28 JANUARI 2010
100 HARI PUISI JALANAN

puisi ini lahir di jalanan
di tengah orangorang mengejar matahari
keringat netes. tanahtanah rekah. aspal leleh
resah. waktu. teronggok sebagai sampah

(siapakah telah bersumpah kemudian enyah?
siapakah telah berjanji lalu mengingkari?)

di depan istana
kita bersama mencari makna 100 hari
mempertanyakan kinerja dan pesona citra
di trotoar berasap, di selokan yang mampet
kita teriakkan kesejahteraan rakyat
mimbar telah terbakar di belukar jiwa
namun rumah-amanah kokoh berpagar!

di depan gedung melengkung
kita bahasakan amanat derita rakyat
suarasuara membentur dinding dan instalasi gedung rakyat
siapa saja merapat, merayap, dan siap menyergap
namun wakilwakil rakyat tak pernah mau membaca gelagat

di depan gedung keuangan
kita hanya menemukan karikatur dolar dan rupiah
yang kemudian raib menuju entah

di peradilan
kita tidak menemukan dewi keadilan
timbangan demi timbangan tak sanggup mengukur keseimbangan
maklar kasus, tikustikus, jejaring labalaba membiak
sepanjang loronglorong kehidupan

puisi ini di jalanan buntu
orangorang terus mengejar matahari
keringat netes di tanahtanah rekah
resah teronggok sebagai sampah


Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 2010



WAJAH PUISI, HARI INI
: buat pemahat makna

kata bergegas menjalin frasa
merenda makna
berkelindan dengan keindahan

ia lahir dari rahim kehidupan
tumbuh dalam asuhan kasih sayang
kadang ia melambaikan isyarat gerak, warna, dan angka
atau menggoda suasana

ia berkelana masuk ke dalam hutan dan lembah
merambah jalan pendakian dan tikungantikungan
dan kadang tersesat atau terkesiap
membaca jejak sajak yang penuh sesak

sebuah sajak tergeletak
tak perlu isak
beri aku satu yang paling tuak!

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010



100 HARI KEMATIAN PUISI
(memperingati 100 hari kematian nurani)

100 hari kinerja kabinet yang raportnya merah adalah elegi
100 kali kinerja pansus century hanyalah tragedi
rendra dan gus dur yang digusur adalah puisi

aku tidak menemukan puisi sejak jutaan penyair meledakkan puisi
di udara terbuka, di cuaca bertuba:
siapa saja merekayasa kata
mereka memuja kata benda seraya memahat kata sifat pada jidat
mereka meninggalkan kata kerja, tersebab cuma percuma

di atas garis khatulistiwa, seluas pulau nusantara
terbentang pantaipantai landai, tempat ombak terbantai
pada lengkung langit, cakrawala enggan bicara satuan makna
di tengah gemuruh riak dan ombak camarcamar gemetar pada tiang layar
aneka warna bendera pun berkibar di kedalaman debar

aku ingin jadi dewa ruci, mendengar bisik di telinga sendiri
aku ingin menyendiri, jadi diri sendiri
aku ingin menulis puisi

(pada peringatan 100 hari kematian nurani
lahir 1 puisi melalui operasi)

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010


TENTANG PENULIS
Dimas Arika Mihardja adalah pseudonim Sudaryono, lahir di Jogjakarta 3 Juli 1959. Tahun 1985 hijrah ke Jambi menjadi dosen di Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Jambi. Gelar Doktor diraihnya 2002 dengan disertasi “Pasemon dalam Wacana Puisi Indonesia” (telah dibukukan oleh Kelompok Studi Penulisan, 2003). Sajak-sajaknya terangkum dalam antologi tunggal seperti Sang Guru Sejati (Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 1991), Malin Kundang (Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 1993), Upacara Gerimis (Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 1994), Potret Diri (Bengkel Puisi Swadaya Mandiri,1997), dan Ketika Jarum Jam Leleh dan Lelah Berdetak (Bengkel Puisi Swadaya Mandiri danTelanai Printing Graft, 2003). Sajak-sajaknya juga dipublikasikan oleh media massa lokal Sumatera: Jambi, Padang, Palembang, Lampung, Riau, dan Medan; media massa di Jawa: surabaya, Malang, Semarang, Jogja, Bandung, dan Jakarta. Antologi puisi bersama antara lain Riak-riak Batanghari (Teater Bohemian, 1988), Nyanyian Kafilah (Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 1991), Prosesi (Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 1992), Percik Pesona 1 & 2 (Taman Budaya Jambi, 1992, 1993), Serambi 1,2,3 (Teater Bohemian, 1991, 1992, 1993), Rendezvous (Orbit Poros Lampung (1993), Jejak, Kumpulan Puisi Penyair Sumbagsel (BKKNI-Taman Budaya Jambi, 1993), Luka Liwa (Teater Potlot Palembang, 1993), Muaro (Taman Budaya jambi 1994), Pusaran Waktu (Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 1994), Negeri Bayang-bayang (Festival Seni Surabaya, 1996), Mimbar Penyair Abad 21 (DKJ-TIM Jakarta, 1996), Antologi Puisi Indonesia (Angkasa Bandung, 1997), Amsal Sebuah Patung: Antologi Borobudur Award (Yayasan Gunungan Magelang, 1997), Angkatan 2000 dalam Kesusastraan Indonesia (Gramedia, 2000), Kolaborasi Nusantara (KPKPK-Gama Media, 2006), Antologi Puisi Nusantara: 142 Penyair Menuju Bulan (Kelompok Studi Sastra Banjarbaru, 2007), Tanah Pilih (Disbudpar Provinsi Jambi, 2008), Jambi di Mata Sastrawan: bungarampai Puisi (Disbudpar Provinsi Jambi, 2009). Novelnya Catatan Harian Maya dimuat secara bersambung di Harian Jambi Independent (2002). Cerpen, esai, dan kritik sastra yang ia tulis tersebar di berbagai media massa koran dan jurnal-jurnal ilmiah. Alamat Rumah: Jln. Kapt. Pattimura No. 42 RT 34 Kenali Besar, Kotabaru, Jambi 36129. e-mail: dimasarikmihardja@yahoo.co.id. atau dimasmihardja@gmail.com, HP 08127378325.