Rabu, 30 Maret 2011

SEPASANG MERPATI

/1/
kekasih, bersama kita untai
sayapsayap kata menjadi doa :
mencinta

/2/
kekasih, bersama kita tanam
warnawarni bunga di taman:
kebersaman

/3/
di luas cakrawala dada
berbiak makna, bersama menuju makam :
keabadian!


bengkel puisi swadaya mandiri, 2011

NDG dan DAM
DAM dan DIHA
DE KEMALAWATI dan DAM
DAM dan SURYATATI A. MANAN (Bupati Tanjungpinang yang Penyair)
DIHA dan AHMADUN YH
DAM dan Rita Indrawati
DAM dan NENI LIDYA
DAM DAN TUTY ANGGRAENI
DAM DAN "MATAHARI"

Senin, 28 Maret 2011

SURAT YANG KUKIRIM PADAMU

surat yang kukirim padamu
penuh isyarat tentang hayat di sepanjang badan
dari ujung kaki sampai ujung rambut
jalan berliku menuju alamat
semua telah tersurat dan tersirat

surat yang kukirim padamu
kutulis dengan jemari bergetar
mencairkan tinta cinta di atas kertas harapan
kukisahkan padamu tentang rambu
kibaran bendera
dan pralambang ada dan tiada

surat yang kukirim padamu
merisalahkan kisah kasih mencinta
derita merindu dan pedih-perihnya penantian:
pencarian terus menerus
        mengarus
memuara
        meriak saling desak
mengombak saling depak
       mengambang diayun gelombang
lalu terbanting oleh lengking kebahagiaan!


sanggar kreasi, 2011

SAJAK BIDADARI BERSAYAP PELANGI

/1/
embun dini hari netes di ubunubun
sayap bidadariku bersayap pelangi
berlampu kunangkunang
menyala terang

/2/
aku menatap langkahmu yang bergegas memanggil taxi
mengendarai sepeda angin di cuaca kian dingin
kuingin, lilin di tubuhku mencair bersama terang cahaya
menyingkap rahasia kelam


/3/
dalam benderang terang cahaya doa
kita kembali pulang
kembali mendulang bayang memanjang


bengkel puisi swadaya mandiri, 28 maret 2011
~ dini hari di rumah eyang erry amanda

Dyah Ayu Sukmawati dan Riyandari Asrita (dua bidadariku)

KUMBAKARNA PAMIT PRALAYA

/1/
setelah bertapa tidur panjang
di dalam goa, engkau mengusikku bangun dari kesadaran
ternyata gunung himalaya meledak mengepulkan asap abuabu
meracuni paruparu; waktu seperti bisu dalam detak yang menyesak
dadaku

/2/
o, begitu yang kau lakukan selama ini
menjual kebohongan demi kesombongan semu
semua mengurung dan menelikungku
detak jarum jam berteriak ~ saling desak
hingga aku tetap terjaga dari kebodohan purba

/3/
setelah huruhara, apakah yang akan kaujumpa?
tentu saja jasadku yang berdebu, bukan lantaran tanah air
bukan lantaran cinta, melainkan oleh tipudaya
yang meruntuhkan sendisendi kehidupan
lantaran itu, aku pamit untuk membunuh adaku
demi sebuah perdamaian yang kauinginkan


bengkel puisi swadaya mandiri, 24 maret 2011

*) pralaya = mati

Kamis, 24 Maret 2011

DERU CAMPUR BIRU

jika chairil anwar mengabadikan "deru campur debu"
aku ingin mengabadikan "deru campur biru" di rumah batu
~ gapura pintu waktu telah menguak senyumku
hanya untukmu; kini aku tak lagi merasa malu
sebab kumau segala kata yang rindang
tumbuh di antara bibir tersenyum

aku ingin mengabadikan deru campur haru
di keharuman pintu waktu ~ mengabadikan
senyuman kemanusiaan bagi sesiapa yang tak rela
menjadi korban; telah kukurbankan pilihan kata
hanya untuk mengabadikan makna
segalanya untukmu, cintaku

jika waktu terus berpusar di dada telanjang
menggemuruh sepanjang malam
membadai dan bergelora di dada luka
di situlah gerak cintaku menarikan ruas jemari
untukmu dan untuk-Mu, wahai kekasih
abadiku.


24 Maret 2011

Sabtu, 19 Maret 2011

SAJAK SAKURA DALAM PELUKAN

~ teringat fairz rustam munaf


senada cinta bersemi di antara kita
~ begitulah bungabunga sakura itu pun luruh
dalam pelukan; kelopak-Nya bergoyang
dalam riuh badai tsunami dan aromanya sangit
berbaur limbah nuklir

masih hangat dalam dekapan dadamu yang menyumbulkan
gunung fujiyama dan kuingat pula saat miyagi digulung ombak
~ persis seperti gelora mencinta di  antara kita
lalu anakanak kita doraemon yang berkantung di perut
tak sanggup memutar balingbaling bambu di kepalanya

kemarilah sayang, kembali kita goyang alunan riak
menjadi ombak ~ membadai dalam gelora mencinta
setelah itu bersama kita bangun mahligai rumah cinta
di hamparan pesisir pantai yang teracuni radiasi nuklir
~ masihkah sempat engkau berpikir
dan merasa kuwatrir? ayo nyanyikan lagi lagu lama
senada cinta bersemi di antara kita...


bengkel puisi swadaya mandiri, maret 2011


Jumat, 18 Maret 2011

Erry Amanda: KETIKA AKU BERTASBIH

ketika aku bertasbih
lumat tubuhku agar menyatu pada ruang bumi dan langit
sebab aku sudah tak bisa berhitung
segenggam saja tanah hasrat
sudah dicukupkan
juga tak perlu nizan
sebab ia bukan tengara keberadaan yang dituntaskan

19 maret 2011 - tangerang

Kamis, 17 Maret 2011

KOLABORASI PUISI "NYANYIAN PENGEMBARA"

karya bersama:
dimas arika mihardja (jambi), kwek lina (taiwan), erni susanty (jakarta), allief zam billah (rembang), said mustafa husin (teluk kuantan riau), muhammad rain (langsa aceh), nella s wulan (bandung), wilu ningrat (tegal), ardi nugroho (sidoarjo), evert maxmillan pangajouw (jakarta), rini intama (tangerang), boedi ismanto (jogjakarta), nabila dewi gayatri (surabaya), jessyca handriyani (bekasi), d. kemalawati (banda aceh), mohamat firmandaru (?), erry amanda (tangerang), enes suryadi (tangerang), husni hamisi (makassar), muhammad nur wibowo (jogjakarta)

/1/
bapa angkasa membentang kain sutera
bercahaya rembulan dan matahari
garisgaris cahaya pelangi
di antara gemintang awan kapas
melepas segala pandang

ibu bumi, bentang sajadah bergambar gunung dan laut
padi menguning di sawah dan kicau burung di dahan pohonan hutan
lalu aliran sungai menuju laut lepas mengayun sampan dan perahu
menuju perjalanan menembus waktu

/2/
namun aku masih berdiri dalam entah
meski anak-anak semesta mengajakku berlari
aku memilih diam terbaring di hamparan rumput
menyatu dengan alam, memuja langit dan menyayangi bumi

diamdiam kubaca sepucuk surat
di lipatan cahaya yang belum sempat kueja
menikmati seulas senyum
tergambar dari bias wajah di kalimat
yang kau titipkan kepada malam

/3/
kau bisikkan mimpimu
sebelum kemarin sempatkan
menuliskan harapan

kau yakinkan
bersama kita bisa
mengukir warna senja

/4/
Aur mengisut, air surut, cahaya jadi sepa
dan dari langit tak ada lagi apa-apa.
Hanya di malam-malam tertentu dewa-dewa menciptakan teks mereka yang panjang
sepanjang ribuan bintang di langit.

/5/
kita tak bisa lari
danau mengepung kita
laut hempas daratan
dengan seketika impian bisa datang juga berlalu

kita susul penantian dengan samadi
dera rakaat malam dan jendela terbuka yang jelaga
di tengah riuh azan subuh
juga pendiangan unggun api rindu
kulihat kau tafakur
ikhlas membaca rahasia mata dara.

/6/
lalu, kepada langit kukatakan
akulah sang pecinta
yang akan menjadikannya berwarna

janji malam kugenggam
menitiskan sunyi
kepada segenap hati yang menanti

mengukir jejakjejak sajak
yang turun bersama embun
kisahkan perjumpaan

/7/
Aku titipkan helai-helai kisah pada helai-helai rambutmu
kini jalinlah menjadi pelangi, lengkungkan di antara perbukitan
seraya menyapukan keindahan pada wajah langit
semak-semak ilalang tumbuh di ruang dadamu
berurat pada luka yang terus memijarkan sejarah
karena perjalanan telah menyepakati pengkhianatan
janji-janji meleleh ke dalam cawan-cawan pertelagahan

Di alur sungai yang keruh masih membekas
kisah dayung-dayung yang patah diantara
derasnya arus-arus yang berpusar. Kenapa
sejarah begitu tega menenggelamkannya seperti batu

Kini bayang-bayang itu terus menggapai mata
Ketika derap kaki-kaki kuda menuju ke utara. Suaranya
terdengar kian reda, lalu lenyap di ujung kelokan telaga,
aku masih ingat ketika itu kau tengah membasuh luka-luka
dari sebuah pergumulan yang kini juga dilupakan sejarah

Adakah kau rasakan cuaca berpusar di pangkal
jantungmu, aku juga begitu, aku sudah tak mampu
lagi menahannya

Cuaca makin memilin-milin ruang jantungku, musim pun berguguran di matamu
Di atas ranting pohon yang meranggas burung-burung bertengger dan berkicau
alam menikmatinya. Kicau burung itu kini hinggap pada helai-helai catatan sumbang
perjalanan sejarah, zaman pun menerimanya

/8/
lalu pada langit kukatakan:
akulah pemandang
penyaksi indahnya hilirmudik angin
mendekap segala yang diingin

/9/
air telah menuba waktu
telah sampai pada cuaca yang mendingini rindu
duduklah bersama semesta kataMu
kulihat mata memuja yang menciptakannya
biru hijau lazuardi dipeluk lupuk diri

kucari Kau di kedalaman danau
melulu air, mata memerih tersaput hempasan ombak pasiran
kucari Kau sepenuh hatiku
menyelami sampan istirah
tapi danau kelewat dalam
waktu tak dapat jabarkan pertemuan
tak dapat menguncurkan terang malam
hanya kedipan dan terumbu mataku menangkap siratan

malam beludru
syal menyemat dingin urat leherku
seperti nafsu yang menelanjangi kesyukuran

lama kuinsyafi tempias air lautMu
lama kubermain percik genang danauMu
terus mencariMu.

/10/
angin tak beringsut senandungkan impian anak manusia
taklah akan mereka pasung imaji hingga meriuh pepohon lukiskan bebunga
buah buah retas memanis
kemasi lapar dahaga
kepada angin beraikan kecintaan sang alam
demikian rebak, demikian pesonai bumi, ibu bumi

/11/
Allah Allah Allah
ya, Allah kulidahkan bahasa jiwa
atas sajadah basah dengan rupa wajah bersalah
setiap saat aku bersijingkat mendekap mesjid
menguntai wirid, merajut tasbih dan tahmid
menjeritkan debudebu yang lekat pada tubuh

Allah Allah Allah
ya, Allah kupahami bahwa sejatinya hidup berasal dari lubang
menuju ke sebuah liang gelap, pekat, dan dingin.
kusadari bahwa di dalam diri ini menganga 9 lubang
lubanglubang itu senantiasa terbuka, terus mengangakan luka
sebab ternyata mulut ini tak pandai melafazkan doa
telinga ini senantiasa dipenuhi angin fitnah dan sumpah serapah
dua mata ini hanya bisa memandang gelimang bendabenda
dan memujanya sebagai berhala
dua lubang hidung ini teramat susah mencium wangi sorga
lubang kemaluan dan lubang pembuangan menyemburkan nafsu
setiap saat kuilihat syahwat tumbuh di jalan dan kelokan
anakanak zaman diasuh angin malam, penuh impian
di bawah jembatan peradaban, anakanak sejarah
tak pernah tercatatat nama dan asalusulnya
di kolong langit makin mewabah aneka penyakit
yang menambah sesak dadaku

Allah Allah Allah
ya Allah aku berdendang menyuarakan tasbih putih
kafan putih melati putih jiwa perih
ya Robbana, aku berlagu dan berguru hanya pada-Mu
kenapa aku dilanda ragu dan cemburu?
denganmu aku memang bisa bergurau
tetapi di hadapan-Mu ya Allah
aku hanya debu diterbangkan angin lalu
debu yang hangus dipanggang Cahaya-Mu.

Allah Allah Allah
ya Allah aku berusaha berlagu hanya pada-Mu
kulidahkan resah waktu lalu kunyanyikan dalam sujudku
kusenandungkan salah-khilafku
lalu kubasuh dengan dingin air wudhu
kupadamkan api benci di hati kupadamkan
kupahamkan api sufi di hati kupahamkan
kusahamkan iman dan amalan kusahamkan
kuqatamkan dan kukuburkan dendam di hati kumakamkan

ya, Robbana, rebana bertalutalu di hatiku yang merindu maghfirahmu
rebana berdentamdentam siang malam
rasa cinta kulidahkan di atas sajadah basah
tapi resah tak terbasuh dan jiwa masih lusuh dan kumuh

Allah Allah Allah
ya Allah aku mengarungi lautan gelisah yang membuncah
sebagai ikan aku megapmegap di daratan
tersuruk di lumut dan bebatuan
terdampar mendekap luka sendirian

Allah Allah Allah
ya Allah kulukai dadaku sendiri dengan lafaz doa
kunyanyikan luka hati di dalam geriap tarian jemari
malam kian kelam namun mulut dan batinku tak bisa diam
o, tikamkan belati Cinta-Mu sedalam iman
remukkan rusuk Adam sebelum bersemayam
kuburkan luka menganga
di bawah rindang daun kamboja

ya Robbana, rebana menggema dalam hatiku
yang rindu Senyum Manis-Mu
apa yang kudamba kini hanya satu, ya Kasihku
ampunilah segala dosa dan salahku
Allahuma ya Robbana kubenahi jasad kucuci hati
kubenahi jihad dan niat kubenahi syariat dan  hakikat
kusempurnakan tarikan nafas tarekat
untuk selalu terikat pada makrifat

Allah Allah Allah
ya, Allah rebana cintaku bertalutalu menghalau pisau risau
dada ini nganga terbuka, berdarah dan bergairah
peluk dan dekaplah aku di kedalaman Cengkeraman-Mu
yang Maha Dalam
Yang Maha Pualam
Yang Tak Pernah Diam

/12/
akulah wilu!
anak bumi yang memusafir padang pasir
yang hampar pada tiap-tiap hati
yang kerontang tanpa nurani

akulah wilu!
anak bumi yang menggenggam tongkat musa
merebut pedang umar
menunggang onta entah suadagar siapa
sembari menyebut-nyebut shalawat Muhammad
sembari meneriak-neriak asma sang Maha

akulah wilu!
anak bumi yang megembara tanpa peta
yang gigih mencari tapakjejak Iqlima, Lubuda, Habil, Qabil
yang seteru pada rumah Hawa pada saat Adam terajam kalamkalam syaitan

/13/
(anak cahaya melahirkan cucucucu yang sama dari waktu ke waktu
mereka mengais kerak bumi menyibak misteri lapisan yang membatu
menjelma jadi butir dan padatan yang kemilau warna warni)
wahai zat penentu segala apa hingga yang entah
smakin kepeluk erat firmanfirmanmu
karena kuperrcaya tanagamulah yang sanggup melukis pelangi di angkasa
dan membentuk permata di perut bumi ini

kubungkus darahku dengan berlembar firmanmu
saat kau terbangkan aku menuju puncak kenikmatan
juga saat kau ikat aku di batang ceruk derita

kurasakan milyaran nadiku berdenyut
sesuai notasi darimu


/14/
Kubenam rasa pada bulan memudar pucat
kuhirup malam bertabur aroma mawar
di beranda tua yang lapuk bambunya diterjang zaman
tempat aku menulis syair syair masa depan
bulan masih tetap sama dalam kabut tipis seperti kemarin
saat aku kembali merangkai puisi cinta untuk seseorang di pulau sebrang

sendiri aku di pelabuhan sepi
ditemani bayang semu memancar di laut tenang
kangenku membuncah akan mawar di pulau seberang
mendesak aku mengayuh sampan melewati gelora samudra
demi sekedar menatap mata sayumu

Yessika
di hitamnya malam masih ada cahaya tak pernah padam di hatiku
membentuk satu dunia yang dihuni para pujangga langit
saat mentari terbit dan tenggelam kita akan sama-sama menikmatinya
saat bintang membetuk namamu dilangit aku bisa melihatnya
sudah kukelilingi mimpi untuk memecahkan misterinya
tapi belum kutemu jua jawabnya

ingin kucari bayangmu di jingga senja
akan kukayuh sampan yang rapuh sekalipun
meyusuri pulau demi pulau karena aku anak kembara
anak pulau yang resah
anak pulau sang pemimpi
anak pulau pujangga

di pelabuhan sepi ini
ingin kuhirup kembali aroma mawarmu
ingin kutulis syair cinta hingga matahari terbenam
untukmu, hanya untukmu…

/15/
akulah pengembara yang lelah dan ingin pulang
saat kapal berlayar meninggalkan tangisan
hingga sedu terbawa kesiur angin
hingga pucukpucuk nyiur

/16/
namun aku pun pengembara yang harus kembali ke lautan
sebab hidup dan kehidupan adalah tantangan
yang mesti kuhadapi dan kutaklukan
akulah: aku sang pemenang!

/17/
bulan menyulap malam
menggelar teduh cahaya
dan menyanyikan hijau musim
mengembang ilalang mencandai ruh rindu

langit mengarah tempat tuju
meraup seluruh isi firman
hujah qudus mengalir geletarkan darahku

peta perjalanan menetes dari segenap pusaran
menggerus nokhtah bakal muasal
melumat pembuangan paling tersembunyi
bersetia menjagai kepulangan

kutengadahkan! alif mewujud sajakku

/18/
Di sini, di belantara sunyi
Aku masih sembunyi dari angin yang mengantar desau lantun sajakmu
Yang mengombaki hati

Gelombang pasang bergulung-gemulung bersama rindu
Mencari ke mana arah pesisir baginya mendesis
Atau angkuh karang pemecah

/19/

Sebelum jarum waktu menghapus jejak
Beribu gerimis menghunjam tipis dada
Wajah-wajah memamah basah dari akar yang mengalah
berbondong berbaris dalam gerak lugu
bertanya hujan mengapa garang tak berendam di liang arang

/20/
Hidup mimbarku
Tubuh Panggungku
Udara, tanah, lautan
Langkah kakiku
Tanah Air
Tanah Air
Mata hatiku

Dunia
Dunia
Apalah arti sejengkal Eropa, Afrika
apalah arti secuil Asia
Indonesia !
Indonesia !
Kembara Merah, kembara putih
kerinduanku, padamu Ibu...

/21/
dari deretan panjang puisi-puisi semesta
ada satu semesta yang sembunyi di balik tirai pergolakan panjang
mendiami singgasana yang tak seorang pun tak hendak berijin menyaksikannya

Jika saja ada tangis
itu pun sudah mengkristal dengan dirinya
hidup dan kehidupannya sendiri.

Jagad yang menaunginya serasa tiap saat memantulkan cahaya
panggilan juga suara-suara seperti menunggu. Setiap saat burung malam
dan mimpi2 yang dilukiskan di dinding-dinding perjalanannya.
Sungai yang senantiasa mengalirkan seluruh airmatanya - dan ia begitu lelah
menghitung waktu lewat jari-jarinya. Aku pun hanya bisa diam
sediam-diamnya, sebab bagiku, entah Nenekku atau aku yang lebih dulu
ada pada antrian terdepan.

Saya tahu betul - sajak yang ditulisnya
sesungguhnya bukan untuk disanjung, sebab baginya, hanya itu yang bisa ia tulis.
Hanya dengan tulisan itu ia bisa bicara jujur
aku hanya mampu meniupkan semangat, tak lebih dari itu, sebab cinta pun
baginya telah luruh di seluruh darah dan dagingnya juga nyawanya.

/22/
Jika ada arah yang menuntunku ke jauhan tanpa batas, engkaulah itu: wanitaku.
Nyanyian angin adalah penjuru bagi musim.
Di bawah lengkung langit sore gerimis itu, ada tarian Bidadari, mengajakku pergi.
Begitulah, kau adalah pemandu perjalanan panjangku.
Bersama seribu Malaikat, seribu Peri, nyanyian doa-doa
dan wangi setanggi, kutembus batas waktu, di balik samar langit, malam itu.

/23/
untuk kakikaki yang meretas
di batasbatas cakrawala
perjumpaan masih kisah kesekian
tempat degupdegup jantung
jatuh berdenting
pelanpelan
di cermin telaga

satusatu dari kita
pergi menepi
ke ujung itu
sebagai lanskap bayang
yang bergoyang
tersapu angin musim badai

ada yang sendiri
ada yang menghela langkah

kita yang masih tertinggal
memanggul badai di selaksa
telaga mata mata kita,
ada simpony menanti waktu
menjemput ada dan tiada
datang lalu menali diri
sebuah kisah
senyum Tuhan dijemari telunjuk
kita yang kian menua
kian meluruh

/24/
Wahai Para Pengembara Jalan Kesunyian
Yang berjalan tertatih tatih berpegang tongkat
Berusaha menggaris garis lurus untuk berjalan
Di lorong lorong kota peradaban tua yang mulai gelap
Karena lampu lampu di hati para penghuninya satu persatu mulai padam
Bulan yang makin mendekat bukankah sebenarnya sudah memberi tanda
Bersiap siap meninggalkan era peradaban kota tua yang makin menjijikkan
Kendaraan bumi tumpangan diri sebagai pejalan angkasa
Makin lelah karena terpaksa berputar makin cepat
Seolah berlomba dengan bulan mempercepat adanya perubahan
Perubahan yang ada tapi tak terlihat tak terasakan
Kecuali oleh mereka yang mata hatinya tak padam
Walau berjuta kemilau cahaya palsu duniawi yang semu gemerlap menyilaukan
Tak diperlukan lagi kata dan bahasa saat nanti sang empunya mengadakan perubahan perbaikan
Karena kata dan bahasa telah ikut lebur menjelma menjadi Cahaya
Karena kata dan bahasa telah lebur menjadi pengetahuan, pemahaman dan rasa mereka

/25/
oh, sepi yang terpintal dari jemari keserbaan
burungburung semakin jauh menuju pusaran hiba
meski tak ada wujud sempurna
lukisan yang kau beri warna
biarkan saja menjadi gending purba
dan kita pun baka.

 /26/
inilah jalan yang mesti ditelisik, sayang
sebuah jalan berliku menuju Rumahmu
rumah kehangatan yang terjanjikan :
ranjang keabadian

sepanjang badan jalan pohon pohon hayat tumbuh
tak pernah mengeluhkan cumbuan angin dan tamparan badai
dicengkeramnya tanah tanah amanah dengan akar tunjang
dan akar serabut selalu menyebut nama nama di balik kabut

dahan dan ranting itu menuding langit menjeritkan doa dan damba
daun daun yang rimbun menyediakan diri bagi embun berayun
pasrah menanti matahari menyempurnakan kilau-Nya

/27/
telah kupanggul hatiiku menemu panggilan menaramu
kubasuh debudebu waktu dengan air wudhlu
di atas sajadah basah airmata aku terbang menembus langit Cinta
o, hatiku jatuh di sepanjang perjalanan
bergantungan sebagai embun diujung daun

dari waktu ke waktu kupungut remah cintaku
kubasuh dan kuasuh dalam gendongan rindu
memasuki Rumahmu

jalan berliku menujumu
ku terus berjalan menapaki jejak dan isyarat langit
o, berikan rambu menuju satu pintu
menuju Dekap paling lindap

/28/
biar susah sungguh mengingat Kau penuh seluruh
chairil kecil pernah sampai di depan sebuah pintu dan beritikaf:
"di pintumu aku mengetuk, aku tak bisa berpaling"
dan raja penyair pujangga baru menyeru penuh haru:
"kasihmu sunyi, menunggu seorang diri"
lalu abdul hadi pun berfatwa: "kita begitu dekat serupa kain dengan kapas"
kini kupetik kapas dari pohon randu penuh rindu dan kupintal menjadi kain
yang bertuliskan kaligrafi Cinta

aku menuju pulang ke Rumah
merajut sujud di sudut hati paling sunyi
merenda kalam sepanjang malam
mengucap dan mengecup rasa sayang
pagi hingga petang

marhaban, ya ramadhan
aku datang di depan gapura Pintu
menghapus jejak kepurapuraan
menata makna doa dengan lidah ibadah
tak mengenal lelah: pasrah!

/29/
saat penciptaan pertama ialah Cinta
sebuah kata yang terus saja melahirkan puisi
di sepanjang aliran dan denyut nadi
pada layar putih tak letih kulahirkan kata:
mencintaimu

guru tak pernah ragu menanam kata Cinta
memupuknya dengan makna dan doa semesta
sepanjang waktu guru tak ragu berjalan menuju satu tujuan
memanen kata Cinta

jalan berliku menujumu, memujaMu
sepanjang tualang kafilah tak lelah memungut kata dan mengeja makna Cinta
lalu mengabadikannya di kedalaman dada membara
lalu mengendapkannya di dasar suara hati yang menyanyikan qasidah
sembari tak lelah menyanyikan barzanji puja-puji bagi cahaya
: mencinta!


/30/
di atas kuda bersurai kita pacu kata melintas kota
aspal jalan yang mulai leleh tak lelah meriwayatkan tangantangan kekuasaan
kalian selalu mengingatkan, "hati-hati ada lubang di sepanjang jalan berliku"
aku lalu melucu "hei, lihat, ada lubang berjalan menawarkan kenikmatan!"

engkau rapikan jilbabmu saat angin kencang menderu
kulihat ada binar di cerlang matamu saat terlihat kubah mesjid
dan menara yang menyangga bintang dan rembulan
"kita basuh debu di wajah kita?"

kita melangkah menyisir jalan berliku dan berdebu
angin menerbangkan kapuk randu
dan engkau menjelma kupukupu bersayap rindu
" hayo, kita lacak jejak di semak kata dan doa!"
kita lantas menemu jalan berliku :
menujuMu.

 /31/
perjalanan ini terasa sangat panjang dan berliku
saat angin merasuk badan kalian sibuk mengerok punggung
mengoleskan minyak gosok di perut yang kembung
saat musik mulai meliuk kalian bergegas masuk ke dalam ruang karaoke
menyanyikan lagu duniawi sembari sempoyongan lantaran menenggak minuman
saat gema adzan masuk ke kamar tidur kalian mengetatkan pelukan
terus saja bergumul dengan kesiasiaan
saat pintu ada yang mengetuk kalian mengutuk
mengusir tamu yang meminta sedekah

wajah kabut menyungkup dan menutup pandangan
aku saksikan wajahwajah kecemasan berjalan menembus kelam
memikul beban dosa purba yang tak tertanggungkan
merajut perih luka menganga
tertatihtatih
letih
merintih

jemari tak letih meniti tasbih
menghitung perih luka
sendirian aku berjalan di bawah gerimis
sungguh, jalan berliku menujuMu

/32/
bila cinta tak sampai
kukirim doa melintas gelap malam
melacak jejak sajak di jalan berliku menuju satu pintu :
hatimu

bila cinta tak sampai
jangan merasa ada yang terbadai
sebab sepatah kata menyediakan muara :
makna

bila cinta tak sampai
pada tirai waktu terbubuh indah nama :
Kekasih!


/33/
Pergilah cinta
Kulepas engkau dengan doa
Agar kau bahagia dengan satu yang lain
Kulepas kau hingga kenangan pun pergi
Biar semua terseret waktu dan angin membawanya lari.

aku pun terbang mengepakkan sayapsayap cinta
menembus cakrawala seberangi samodera makna ketulusan
telah kupilih satu jalan menuju cinta seperti Dia yang Mahakasih
telah kudekap kenangan di atas roda sepeda, senyum, dan cahaya mata

kini aku telah sampai di depan gapura
duduk diaduk genang kenangan mencinta
di atas sajadah basah telapak tangan menengadah:
"bukalah pintu maafmu".

/34/
sampai di muka mesjid pintu pintu dan jendela berderit
hati pun menjeritkan seruan penuh kerinduan :
kekasih, aku datang memenuhi panggilan
merajut benang menjadi kain
mengasuh kasih sepanjang biji tasbih

memasuki serambi terasa ada tangan menggamit langkah ibadah
di atas sajadah tergelar perjalanan terasa menanjak
kaki terasa tidak berpijak, jejak perjalanan kian menanjak
kedua telapak tumbuh sayap
doa melesat menembus langit

kekasih, kasihanilah aku yang mendebu
kisahkan padaku bagaimana semestinya memelihara hati
menjaga lidah dari bisikan bisikan busuk menyesatkan
menjaga telinga dari suara suara hasutan bersahutan
menjaga mata dari panorama benda benda keduniawian


/35/
sepanjang jalan kurisalahkan kisah kasih dari ruang maya ke raung benda
dengus nafas pergumulan siang malam serupa nafsu kuda
berlari di atas padang sahara mengepulkan debu debu waktu
jalan masih panjang dan berliku, bergelombang
tak ada tempat berteduh bagi jiwa lepuh
tak ada ricik air bagi perasaan fakir

di atas atap sirap kau pasang parabola
kauserap gemerlap dunia benda benda
warna warni aksesori
membeli mimpi

sudah saat
berobat
tobat!

/36/
ke mana kumengembara
ke pekatnya lembah atau ke dalam dangkalan jiwa
nur lurus itu lalu menuntunku pada sebuah pintu dengan dua daun
belum bersiap, masih harus kusalin dulu segala yang kotor ini
hingga kuhadap dengan wajah berseri

/37/
Ya, Allah jadilah aku gelandangan di hadapan rumah-Mu, mendebu dan membeku
Ya, Allah jika memang ada salah laku dan luka kata-kataku
 tunjukkanlah di dalam kamus hidupku kosa kata: cinta, setia, sayang semuanya
Ya, Allah, aku masih mau hidup memelihara kata, merawat makna
 memotret geriap luka dan mengabadikan cinta yang terasa sia-sia

Kata Rendra: "kere-kere jangan mengemis lagi"
Teriak Chairil Anwar: "sudah tercacar pula koreng, darah, dan nanah di muka"
Kata Toto Sudarto Bachtiar: "gadis kecil berkaleng kecil senyummu terlampau kekal untuk kenal dosa
[terlampau biru untuk mengenal ini semua], kalau kau mati gadis kecil berkaleng kecil
 bulan di atas sana tiada lagi punya tanda dan kotaku, ah, kataku...

aku semakin malu ya Allah selalu menyeru dan merayu-Mu setiap waktu
Ya, Allah, betapapun yang duduk lungkrah dan menadah itu dia adalah aku: ibu kata
hati paling jernih dan perih

/38/
ini kisah angsa bertelur emas
yang berenang sepanjang aliran batanghari
yang berdendang antara riak dan ombak zaman
dari utsnami di ngeri turki hingga tsunami di dalam diri

inilah tanggo rajo, tempat empat bangsawan jambi menyangga negeri
adalah keraton-kedipan-perban- raja empat puluh
di kedalaman batin penghulu kubu
pindah dari minangkabau

sampan dan perahu layar berkibar
bendera dan pusaka saling incar
tahta. mahkota kata
mahligai hati tersulam dalam seloka
dipajang di dinding sejarah darah

jalan sutera mengangkut garam
emas berkarat di atas koin
lada dan pala di antara kebun para
dan sorban sultan di tengah pertikaian
dan traktat perjanjian yang sarat kepentingan

di aliran batanghari dan anak-anak sungainya
pendulang dan penambang berebut asin garam
manis gula,sementara rempah-rempah sejarah
jadi remah yang dibakar gelora berkuasa

angsa bertelur emas mengusung simbolisasi
mitos dan legenda. pemuja tahta sebagai berhala
terus berupaya menanamkan pengaruh
menyuburkan nafsu berkuasa
dari masa ke masa berebut mahkota bertahta emas
dari hulu ke hilir orang-orang mengalir
dan tersihir oleh kilau permata

/39/
sajak dan syairku, ya Rabb, hendaklah lahir dan mengalir
dari Rahman dan Rahim Iradatmu. mencair dari alam pikir
semata mendamba Kasih dan Sayang, tak lelah merisalahkan kisah lisan
tak leleh menuju Satu pintu. ya Rabb selamatkan perhelatan dan niatan
menyusun kekuatan menelusuri ruas jemari, luas hati.
detik menitik larut dalam gamitan menit dan tenggelam dalam detak jam
yang tersusun menjadi nafas cintaku

kususun batu rindu dan remah kangenku selalu nyala
kususu airmata doa dan harap-cemasku selalu mengemuka
kupadu katakata dan makna cintaku berbunga
kusedu sedan tangisku atas debudebu waktu menyebut 99 Asmamu

dengan jemari letih kuketuk pintu ampunan:
ya, Robbana, rebana bertalutalu di hati merindu
marhaban ya ramadhan, puas dan puasakan diri
marhaban ya kesadaran, puas dan puasakan pikiran
marhaban ya kesabaran, puas dan puasakan hati
marhaban ya kesuburan, puas dan puasakan nafsu duniawi
marhaban ya kenikmatan, puas dan puasakan syahwat badani
marhaban ya seribu bulan, puas dan puasakan senggama raga
marhaban ya makna berdekapan

/40/
setiap saat kaupandangi pintu seakan ada yang memanggul rindu
debudebu hanyut di selokan dan merembes dalam tanah:
dada doa buncah dan basah

engkau masih termangu memandangi pintu waktu
sementara jam terus bertaktik tak tik bersama rintik hujan
menitik juga bening kerinduan ke ruang lengang di dadamu
sementara jendela telah mengirim sinyal yang lemah:
susunlah lagi jemarimu

seolah ada yang kautunggu
di pintu waktu hujan mengekalkan bayang
kenangan kian menua!

/41/
kepak sayap burung merak menyibak awan berarak
langit biru serupa kain tetoron terentang di luas cakrawala
tak ada aroma kemenyan atau dupa
udara disemprot deodoran dan aroma bunga
semerbak di atas tanah makam

bulubulu sayap dan ekormu melayang di udara
dan air sungai menjadi tinta yang mengalirkan cinta
juru potret lalu mengabadikannya dalam rupa maha sempurna
dan penyair berebut kata kata di udara bebas

kini di atas tanah yang masih basah ini
kubasuh telapak tangan dan kuasuh kata sebagai doa
menjelang ramadhan, kubersihkan daundaun dan rumput
lalu lidah tak lelah menyebut dan menyambut Ampunannya:
kesadaran adalah matahari
kesabaran adalah bumi
keberanian menjadi cakrawala
dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata
*)

Aku mendengar suara
Jerit hewan yang terluka
Ada orang memanah rembulan
Ada burung terjatuh dari sarangnya
Orang-orang harus dibangunkan
Kesaksian harus diberikan
Agar kehidupan bisa terjaga
**)

notes: *) dan **)  petikan puisi almarhum Rendra

Selasa, 15 Maret 2011

BIARKAN AKU MENULIS PUISI,SENGGAMA

biarkan aku menulis puisi, senggama
sebab puisi bukan semata menyangkut persetubuhan
melainkan penyatuan jiwa ~ bukankah begitu yang kauajarkan padaku
saat aku mulai jatuh cinta berkalikali pada puisi?

biarkan aku senantiasa menitiskan rasa mencinta, senggama
kertas adalah ranjang pergumulan dan aku-kamu sebagai pena-tinta
dan luka kita tersebab mencinta ~ seperti kauajarkan jelang fajar
saat subuh lepuh: kita bergumul menyetubuh ruh

biarkan aku mencair sebagai tinta,senggama
meneteskan kisahkasih yang tak letih menuliskan keagungan
dan keanggunan Maha Daya Cinta ~ seperti wasiat yang kau catat
pada antologi puisi yang kubaca: abadi
menyanyikan gelora mencinta!


16 Maret 2011


USAI GERIMIS

langit pecah sejak pagi, koyakmoyak
tetes airmatanya satusatu ngusap debu
jalanan lengang ~ menunggu petualang?

ah, masih basah juga bumi yang gelisah
menahan amarah ~ tahukah? isyarat itu
bayang yang menggenang di sepanjang lubang
mengangakan doa purba

ya, telah kulunaskan penantian
hujan reda, kerelaan menerima segala yang
tiba ~ bukankah telah begitu sejak semula?
semua mengisyaratkan perjalanan
harus diteruskan!


15 Maret 2011

Senin, 14 Maret 2011

PUISI YANG LAHIR DARI RAHIM WAKTU

/1/
(marenda atika miharja)

puisi pertama lahir menjelang subuh di rumaah sakit umum yang kumuh
seluruh tubuh anakku terbungkus selaput abu-abu

saat bidan mengguntingnya, tangis pertamanya pecah
lalu gema suara adzan lengkap dengan iqamah membelah pintu langit
menjeritkan segenap rasa sakit yang menikmatkan

alhamdulilah puisi itu lalu tumbuh diasuh kibaran jilbab
dalam ayunan lantunan irama ayatayat

/2/
(riyandari asrita miharja)

gema takbir dan tahmid berkumandang
di udara kembang api keagungan Namanya berpijar
lahir puisiku yang kedua di rumah bersalin panti rahayu di simpang kawat
dekat lorong nusantara

semua suara celotehnya seperti beo
semanis dan semanja suara kucing
yang menggesekkan kepalanya

alhamdulillah puisi kedua tumbuh diasuh waktu
dibesarkan dalam doa dan kasih sayang di rantau orang


/3/
(dyah ayu sukmawati)

puisi ketiga kulahirkan di puskesmas putri ayu
saat pameran pembangunan agustusan
karnaval dan pawai di jalan
lomba perahu naga di aliran batanghari

puisi hakikatnya belahan jiwa
berbusana kata kearifan dan doa

alhamdulillah, puisi menjelma bunga
kelopaknya mengaroma
putik-Nya menunjuk keluasan angkasa


Sanggar Kreasi, kado milad anakku 14 Maret 2011




Puisi-puisiku yang lahir dari Rahim Waktu

Minggu, 13 Maret 2011

MUARA TIGA

/1/
tunas airmata tunai
di kedalaman ngarai

/2/
lunas mataair sungai
di deras arus paling dalam

/3/
airmata mataair tercurah dari langit
saat hati dan jiwa serupa pintu berderit


13-03-2011

Rabu, 09 Maret 2011

SEBUAH PUISI YANG KUTULIS UNTUKMU

setangkai bunga rekah di dada
kelopak-Nya mekar dalam doa dan harapan
lalu kuseru namamu di setiap tahajut malam
hingga kelopak bunga itu mengaroma

seuntai tasbih putih serupa roda
berputar melingkari ujung jemari
lalu terasa ada kilau cahaya di antara makna
dan makam kesunyian, "santaplah doa dan harapanmu
sandarkan pada kesadaran mencinta."

selembar kain putih
bertuliskan larik puisi
membubuhkan namamu:
abadi!


09-03-11

Selasa, 08 Maret 2011

ANAK-ANAK DOA DI KOLONG LANGIT

O, Bapa Angkasa
Ibu Bumi
di sini, di tanah dan airmu
di rumah dan ruah banjirmu
di celah lipatan sejarah
di gigil badan bugil
di lalulintas suara berlintasan
di bentang alam terkembang jadi guru
di lembar kitab usang dan buku-buku
di kibaran lembaran uang curian
di letih sang saka merah putih
di cukong berkantong tebal
di wajah pedagang bermuka bebal
di wajah rompal bernama moral
dijajah bangsa berjiwa ngengat
dirajah luka berkarat
O, Bapa Angkasa
Ibu Bumi
di sinilah kami berdiri di bawah jembatan timbang
serupa truk-truk tersuruk
serupa langkah tersuruk
serupa alat-alat berat mengeruk isi bumi
serupa setan di jalan
kesurupanlah semua
saling ganyang
saling tendang
saling meradang
saling kemplang
dan senyatanya telah kusuling segala kepedihan
kusaring segala kemaksiatan
kubanting segala kemunafikan
kupiting segala kekerdilan
kuhisap puting susu kehidupan
di tengah gelisah alam
di tengah resah anak-cucu Adam
kuternakkan doa
kukembangbiakkan harapan
beranakpinaklah cinta kehidupan
di kolong-kolong jembatan
di atas timbunan sampah sumpah jabatan
di bawah geriap wajah zaman

O,Bapa Angkasa
Ibu Bumi
lidah kelu
mata dadu
kepadaMu aku menyeru
menyerupai anak-anak sejarah membaca peta buta
menyerupai anak-anak korban penindasan
korban kekerasan
korban ketidakadilan

O, Bapa Angkasa
Ibu Bumi
biarkan aku menguras habis airmata
biarkan resah ini membasah
biarkanlah luka ini kian bernanah
biarkanlah aku hirup aroma hidup
yang mengenyangkan
yang memuaskan dahaga jiwa
yang memuasakan kehendak bertahta
sebab aku hanyalah debu
sebab aku hanyalah abu pembakaran
dan tumbal peradaban


bengkel puisi swadaya mandiri, jambi 09-03-11
+ puisi ini terinspirasi dan sebagai responsi sajak Erry Amanda "Sajak Anak Langit"

MELAYARKAN IMPIAN

sebelum layar terkembang dan gelombang menggulung buritan
tiang layar, kain terpal
pelampung lekat di lambung
peta dan arah tujuan pendayung sampan
berita cuaca sinyal dan mercusuar
siap sebagai bekal perjalanan

saat perahu melaju dan gelombang menghadang
kita saling pandang di batas ada dan tiada
menafsirkan sebuah pergumulan diamdiam
mengikrarkan janji keabadian

laut, gemuruh jiwa mencinta
mengirama dalam ayunan gelombang
menggemakan aneka suara tembang
hingga pada akhirnya perahu rapat di dermaga
berbatu karang


09-03-11


Senin, 07 Maret 2011

TERASA ADA GELORA

terasa ada gelora ketika anakanak sekolah berseragam lusuh
keluar dari rumah kumuh menuju gedung sekolah
yang dibangun di atas kuburan massal
bagaimana mungkin bisa mempertebal keyakinan
jika guru meragu dan ilmu hanyalah bayang semu?

terasa ada gelora di dada luka
saat abad berlari tinggalkan kebodohan di emper dan trotoar jalan
sedang birokrat dan pejabat sibuk memasang jaring labalaba
terus menumpuk laba dan harta benda?

ada gelora di dada
saat berjuta mulut terkatup
memeram kepedihan bertahuntahun
seperti bandul jam terayun ke kiri dan kanan
atau goyang ilalang kering saat api merayu pembakaran
untuk kembali menjadi abu; terasa benar
gelora itu menyungai
menuju laut pelepasan ke muara makna
dan palung paling dalam

08-03-11

Minggu, 06 Maret 2011

MENGARUNGI GELORA LAUT

"tautkan jemarimu, lalu menarilah" bisik camar
gemetar di tiang layar; engkau menuruti dan mengerti
arti bisikan itu lalu mengayuh pendayung
hingga sampan pun laju di atas kecipak riak dan ombak

"laut itu luas, apakah engkau tak gentar menyeberanginya?"
sebuah suara, entah dari belahan jiwa mana, begitu bening
berdenting dalam hening "telah kutarikan ruas jemari
menghitung misteri jarak pendakian"

ow, riak menggelegak jadi ombak
dan ombak berdecakdecak, saling desak
memukul lambung sampan:
"aku diayun oleh jemari tangan maut
di keluasan laut!"


06-03-11

MUARO BUNGO

~ sebuah liris buat gadisku yang bisu


kelopak bunga itu, anakku, takkan layu
sebab kautahu ia merekah sebagai bunga batu
mengabadikan kebisuanmu

deru truktruk pengangkut batu bara itu, anakku
penuh sesak melubangi jalan dan merusak ekologi alam
aku tahu engkau diam seribu bahasa, bungkam
dan tak hendak menyaksikan kepedihan ini

di tengah kelopak bunga yang membatu
kutahu engkau abadikan resahmu
hingga angin pun mengendap senyap
menyergap lidah yang gagap membahasakan
peradaban!


perempatan jalan muaro bungo: 06-03-11

Jumat, 04 Maret 2011

MERAYAKAN SEPI

"nyepi", katamu senja itu
dan aku berguru pada gemuruh bunyi paling sunyi
di kedalaman hati

"nyanyi", begitu serumu malam itu
lalu aku berguru pada deru haru
di kedalaman danau rindu menemu bayangmu

"sepi bernyanyi"
aku melagu usai berguru pada padam lampu
mengurung diri dalam kamar yang penuh getar
mendayung doa dan harapan menemuimu esok pagi

sepi merayap antara sendi dan nyeri hari
berenang di tengah telaga berair tenang
menggenang segala yang bernama bayang
dan kita sama menggelinjang mengurai kenangan
bercinta!


sanggar kreasi jelang sunyi, 04-03-11


DI KAKI GUNUNG

di antara celah dan lembah
loronglorong goa membuka pintu waktu
'masuklah, jangan ragu" bisik angin dengan kerisik-Nya
maka aku pun masuk, juga kalian
samasama telanjang dalam gigil yang memisteri

lorong ini, labirin yang memanjang
memajang stalaktit dan stalakmid segala rasa sakit
lalu aku termangu saat namaMu terbubuh di dinding
memancarkan cahaya

lidah kelu
mata dadu
tubuh hanya debu
mengejang di bawah kaki telanjang!


kaki gunung kerinci, 3 maret 2011